
Tampilan pasar lama ini seperti Old Chinatown di Penang, lengkap dengan sajian kuliner yang berjejer dan minta untuk dibeli semua. Entah kenapa tampilan kwetiauw-nya seperti ada tangan yang memancing untuk mampir ke warung.
Saya mampir sebentar ke Klenteng Bon Tek Bio disana. Begitu masuk, rasanya sangat otentik budaya peranakan di tanah air. Saya sebenarnya terbiasa dengan beribadah ke Klenteng sejak kecil di Kudus, Jawa Tengah. Namun suasana disini lebih terasa peranakan dan budaya kunonya.
Sedikit bergeser ke depannya, ada rumah kopi Gouw yang mentereng dengan memamerkan koleksi biji kopi nusantara pada sisi depannya. Saya pun disuguhkan kopi asal Papua, yang saya yakin ini biji dari pegunungan, dan diroasting sehingga mirip dengan Manual Brew. Rasanya pun cukup berat, namun tidak meninggalkan bekas di lidah seusai meminumnya. Itulah keistimewaan kopi asal timur yang meskipun Acidity (keasamannya) nya lebih tinggi, tapi tidak membuat kopi itu sangat berat dikonsumsi. Baru setelah minum dua cangkir, kami membungkus satu ice coffee. Oleh si penjual, sisa kopi special tadi, dicampur condensed milk. Rasanya….. luar biasa. Saya pun cuma bayar…. Rp 30 ribu. Harga yang sangat murah untuk sajian kopi komersial.
Masjid Seribu Pintu
Dari tempat itu saya melanjutkan perjalanan ke lokasi yang tidak biasa. Oke, Saya sebenarnya agak gambling dengan lokasi ini, yakni Masjid Pintu Seribu atau Masjid Nurul Yaqin. Sebab review di Internet sangat terbatas. Bahkan, di sosial media pun hanya sedikit yang akhirnya mengupload foto mengenai tempat itu. Namun, teman jalan saya meyakinkan kalau pasti ada sesuatu di bangunan ini, sehingga bisa bernama Pintu Seribu. Kalau pun ada, anglenya kurang tepat, sehingga tidak nampak keindahan Masjid ini.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News