
Lebih lanjut dirinya menerangkan, untuk memastikan kredibilitas informasi pemilik manfaat, saat ini Ditjen AHU telah menerapkan langkah-langkah verifikasi yang ketat.
Proses ini melibatkan persyaratan bagi perusahaan untuk mengidentifikasi pemilik manfaatnya secara internal serta Notaris untuk melakukan uji pengguna jasanya, sehingga menjadikan Notaris sebagai penjaga pintu penting dalam memastikan akurasi dan keterkinian informasi BO.
“Notaris sebagai salah satu gate keeper diberi tanggung jawab untuk melakukan prinsip mengenali pengguna jasa atau Customer Do Diligence serta meningkatkan kewaspadaannya untuk memastikan bahwa korporasi yang akan didaftarkan tidak dikelola atau digunakan sebagai pencucian uang dan pendanaan teroris,” ungkap Cahyo.
BACA JUGA: Terkait Skema Model OCI untuk Diaspora Indonesia, Dirjen AHU Buka Suara
Untuk mendukung kepatuhan, Indonesia juga menerapkan sanksi untuk menegakkan kepatuhan terhadap persyaratan deklarasi BO.
Termasuk daftar hitam publik untuk perusahaan yang tidak mematuhi, serta sanksi pemblokiran yang membatasi perubahan anggaran dasar, struktur, kepengurusan, dan kepemilikan perusahaan.
BACA JUGA: Wejangan Dirjen AHU kepada 51 Penerjemah Tersumpah yang Diambil Sumpahnya
Langkah-langkah ini bertujuan untuk mencegah ketidakpatuhan dan mendorong transparansi di sektor korporasi.
“Dalam upaya menyelaraskan sistem BO dengan standar internasional, kami juga bekerja sama dengan Open Ownerships dan UNODC untuk melakukan penilaian komprehensif. Meski pun ada beberapa isu kecil, sistem BO Indonesia diakui cukup kuat dalam struktur data dan mekanisme verifikasi,” bebernya.
BACA JUGA: Notaris Jadi Garda Terdepan Pencegahan TPPU/TPPT, Kata Dirjen AHU
Cahyo menegaskan komitmen untuk terus memperbaiki verifikasi BO, mengintegrasikan data secara lebih luas, dan meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News