.webp)
Dia menambahkan, dalam bernegara ataupun hukum berlaku asas tentang aturan hanya bisa diubah oleh ketentuan sederajat dengan cara sama. Hal itu pernah terjadi pada putusan Mahkamah Agung (MA) dalam tingkat kasasi tentang perkara Yayasan Supersemar.
Putusan itu menuliskan angka Rp 139 juta yang seharusnya Rp 139 miliar. “Kesalahan ini tidak bisa sekadar dikoreksi dan membutuhkan upaya peninjauan kembali untuk membetulkannya," jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Boyamin, hingga saat ini belum terbentuk alat kelengkapan DPR (AKD) termasuk Badan Legislasi (Baleg) sehingga koreksi typo oleh parlemen sekarang juga tidak sah. Menurut dia, syarat sahnya pembetulan atas typo dalam UU KPK hasil revisi adalah melalui Baleg dan rapat paripurna DPR.
"Sepanjang hal ini tidak dilakukan maka revisi UU KPK adalah tidak sah," ujarnya.
BACA JUGA: Jokowi Mengaku Kabinet Nanti Banyak Wajah Baru, Siapa Saja?
Lebih lanjut Boyamin juga menyoroti revisi UU KPK masih menyisakan masalah karena pengambilan keputusannya dalam rapat paripurna DPR pada 17 September 2019 tidak mencapai kuorum kehadiran secara fisik para legislator.
“Nyatanya yang hadir saat pengesahan rapat paripurna DPR hanya 89 anggota, jelas-jelas tidak kuorum," ungkap Boyamin.
Selain itu, kata dia, masih ada permasalahan dengan pembacaan revisi UU KPK dalam rapat paripurna DPR. Sebab, Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat paripurna DPR kala itu tidak membacakan materi revisi secara utuh.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News