
GenPI.co - Pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat minggu depan terjadi tepat setelah Iran memperingati ulang tahun ke-45 krisis penyanderaan Kedutaan Besar AS tahun 1979.
Dilansir AP News, bagi banyak orang, ketegangan antara Teheran dan Washington terasa sama tingginya seperti saat itu.
Iran masih terlibat dalam perang Timur Tengah yang mengguncang kawasan itu, dengan sekutu-sekutunya, kelompok-kelompok militan dan pejuang yang menamakan diri sebagai “Poros Perlawanan”.
BACA JUGA: Presiden Ukraina Zelenskyy Sebut Pasukan Korea Utara Siap Bergabung dalam Perang
Babak belur saat Israel melancarkan perangnya di Jalur Gaza yang menyasar Hamas dan invasinya ke Lebanon di tengah serangan-serangan dahsyat terhadap Hizbullah.
Pada saat yang sama, Iran tampaknya masih menilai kerusakan akibat serangan-serangan Israel terhadap Republik Islam itu Sabtu lalu sebagai tanggapan atas dua serangan rudal balistik Iran.
BACA JUGA: Menteri Informasi Lebanon Menuduh Israel Melakukan Kejahatan Perang
Mata uang Iran, rial, mendekati rekor terendah terhadap dolar, terpukul oleh sanksi internasional atas program nuklir Teheran yang memperkaya uranium mendekati tingkat tingkat senjata .
Di ruang publik, perempuan masih secara terbuka menentang hukum wajib Iran tentang jilbab, sebagai akibat dari demonstrasi massa atas kematian Mahsa Amini tahun 2022 yang masih menghantui negara tersebut.
BACA JUGA: Tentara Korea Utara Disebut Kurang Familiar dengan Medan Perang
Hal itu menimbulkan rasa fatalisme di antara sebagian orang di jalan-jalan ibu kota, Teheran, saat warga Amerika memberikan suara untuk Wakil Presiden Kamala Harris atau mantan Presiden Donald Trump.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News