
Akhirnya dokter tidak memberikan obat apa-apa. Toh saya tidak merasakan apa-apa. Covid yang masuk ke saya juga dari jenis yang sangat ringan: badan tidak panas, tidak batuk dan tidak kehilangan rasa makanan.
Saya pun nyaris lupa kalau punya problem D-dimmer. Maka saya akan menanyakannya di Tianjin.
Sambil menunggu visa didapat saya pun menjalani Safari Ramadan bersama istri. Saya harus baik-baik dengan istri karena akan saya tinggal pergi.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal DPR Malaysia: Penyamun Bohong
Dia pilih tidak ikut ke Tianjin. Dia tahu kebiasaan saya di Tiongkok: selalu pilih naik kereta bawah tanah.
Harus banyak sekali jalan. Naik turun tangga untuk pindah-pindah kereta. Padahal lututnyi perlu diistirahatkan. Terutama setelah diforsir di Makkah dan di Safari Ramadan.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Calon Presiden Turki: Formalis Alevi
Saya pun sendirian berangkat ke Tianjin. Kali ini juga juga pilih kelas ekonomi. Murah sekali: tidak sampai empat juta rupiah. Tentu saya harus duduk di kursi belakang. Tak apa. Toh lewat Singapura. Surabaya-Singapura hanya 2 jam.
Lalu Singapura-Beijing 5 jam. Enteng. Setelah sukses 11 jam di kelas ekonomi Surabaya-Jeddah, lima jam itu menjadi sepele.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Safari Ramadan: Sirna Rasa
Masalahnya harus bermalam di Singapura. Juga tidak masalah. Saya bisa tidur di kursi di bandara Changi. Di terminal 2 ini.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News