
Setelah seabad lebih, Thomas Cook sebagai perusahaan penyedia jasa perjalanan berjaya dengan 550 kantor cabang, 200 hotel dengan 40.000 kamar, dan 105 pesawat terbang sendiri. Namun, perusahaan itu tidak mampu bersaing di era sharing economy
Menurut pihak Thomas Cook, kebangkrutan mereka diakibatkan oleh masalah keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa. Proses yang berbelit-belit dan memakan waktu membuat biaya perjalanan wisata menjadi mahal bagi warga Inggris, pelanggan utama mereka.
Hal lain, udara panas yang menerpa Eropa dalam beberpa tahun terakhir membuat turis Inggris bertahan di negaranya sendiri. Sementtara satu fatu faktor yang memastikan kematian Thomas Cook adalah dua destinasi utama mereka yang dilanda masalah keamanan, yakni Turki dan Mesir.
Namun, pihak eksternal melihat kolapsnya Thomas Cook karena perusahaan itu tidak siap menghadapi Internet.
“(Thomas Cook) adalah sebuah model bisnis kuno, dengan kantor cabang yang berbiaya tinggi, tidak dapat bersaing di zaman internet, masa di mana pelanggan bisa membuat liburan mereka sendiri secara online," tulis Guardian.
Klaim Thomas Cook mengenai warga Britania Raya menahan diri untuk berjalan-jalan ke luar negeri dianggap mengada-ada. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2018, 60 persen warga Britania Raya pergi berlibur, naik dari 57 persen pada tahun sebelumnya.
Menurut asosiasi travel agent Britania ABTA, hanya 1 dari 7 orang Britania yang pelesiran keluar negeri yang membeli paket perjalanan mereka di travel agent. Itu berarti hanya 14 persen dari seluruh pelancong Britania yang membeli produk perusahaan agen perjalanan seperti Thomas Cook.
Perusahaan agen travel Tui dari Jerman juga berada pada kondisi yang sama. Beruntung, mereka hanya memiliki sedikit utang sehingga masih bisa bernapas. Tui bahkan diperkirakan akan mendapat keuntungan dari para pelanggan yang sebelumnya menggunakan jasa Thomas Cook.
Jangan lewatkan video populer ini:
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News