
Yos tengah sibuk meraut batang-batang bambu ketika aku datang dengan dua gulung kertas minyak berwarna merah dan kuning yang kubeli dengan uang yang dijarah dari jakcket Bapa. Yos sejenak memperhatikan gulungan minyak yang kugenggam, lalu kembali larut dalam kesibukannya meraut batang bambu. setelah selasai, dengan terampil tangannya menimbang sebuah batang bambu yang telah diraut halus, untuk mencari tahu apakah batang bambu itu telah memiliki berat yang seimbang pada kedua sisinya.
Ketika dirasa cukup, batang bambu itu diikat pada sebuah batang lainnya sehingga membentuk seperti sebuah salib. Ia lalu mengambil gulungan benang dan mengikatkannya pada ujung bagian atas rangka salib itu. Benang tersebut di bentangkan pada ujung bambu lainnya, lalu diikat dengan kuat agar tidak sampai lepas. Hal yang sama ia lakukan juga pada ujung lainnya, sehingga bentangan benang mengelilingi seluruh rangka bambu, membentuk semacam sisi. Pada benang tersebut nantinya akan direkatkan kertas minyak.
“Besar betul ini layang-layang!” Aku berseru ketika melihat rangka itu selesai dibuat.
Yos tersenyum bangga melihat hasil kerjanya. Sebuah rangka layang-layang dengan lebar masing-masing 1 meter di kedua ujung kiri kanannya. Sementara panjangnya lebih dari 1 meter.
“Bawa sini kertas minyaknya. Mana lem?” seloroh Yos lalu dengan segera kerta minyak itu berpindah kepadanya.
“Tidak ada lem’e,” aku menjawab.
“Pakai nasi saja,” Yos berkata kemudian bergegas lari memasuki rumahnya lalu kembali dengan sebongkah kecil nasi putih yang akan digunakan sebagai lem.
Langit lembah Poco Likang kerap riuh ketika musim panas di bulan Juli. Sebagian besar anak-anak di kota kecil Ruteng seperti berlomba menerbangkan layang-layang buatan sendiri. Ada semacam pertandingan tidak resmi di saat itu. Puluhan layang-layang menari-menari di langit yang biru seakan mengatakan dirinya yang paling terbaik.
Beberapa layang-layang hadir dengan untaian rumbai yang ramai, dengan panjang bermeter-meter. Sementara yang lain mengandalkan ukuran yang besar dengan warna mencolok sehingga akan terus tampak meski di terbangkan dengan ketinggian berkilo-kilo meter dari permukaan tanah. sementara anak-anak lain mecoba membajak layang-layang sasaran mereka. Namun bentuk layang-layang yang dimainkan anak-anak Ruteng itu umumnya sama, yakni segi lima atau segi empat dengan sisi-sisi yang lebih pendek pada bagian yang menghadap keatas.
Layang-layangku telah selesai dibuat. alih-alih dibuang, kertas minyak yang masih tersisa ditambahkan di bagian belakang layang-layang,membentuk sebuah ekor yang berjuantai sehingga membuat layang-layang tersebut tampak makin menarik. Uang dari Bapa juga tak tersisa, lantaran selain untuk membeli kertas minyak, uang tersebut juga digunakan untuk menambah beberapa gulung benang lagi. Dalam benak aku membayangkan bagaimana gagahnya layangku nanti saat mengudara.
“Ayo kita kasih terbang inil ayang-layang,” Seru Yos yang juga terlihat tidak sabar.
“Sabar,e... saya ambil spidol sebentar,” kataku kemudian berlari masuk rumah lalu secepat kilat kembali ketempat Yos berdiri menenteng layang-layang kami itu.
“Untuk apa itu spidol?” Tanya Yos penasaran dengan benda di tanganku itu.
“Lihat saja,” jawabku dengan sumringah.
Yos menurut saja ketika aku meminta ia untuk meletakkan layang-layang itu di tanah. Lalu dengan spidol, aku mengguratkan sebuah tulisan dengan huruf balok besar pada layangan itu. GALAK.
“Galak? kenapa tulis galak?”tanya Yos bingung dengan tulisan GALAK yang baru saja kubuat pada layangan itu.
“Biar seperti layang-layang di film Benyamin S. itu kah,” aku jawab sembari terseyum puas. “Masih ingat itu film di TPI itu to? Layang-layangnya Benyamin S. juga tulisannya GALAK."
“OOOh,” Yos mengerti lalu ikut tersenyum. “Ayo kita kasih terbang ini si GALAK.”
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News