
“Saya tidak akan datang kesini, jika Sigit tak memberitahu saya bisa bekerja di tempatnya. Semoga dengan kedatangan saya ke sini, saya bisa bekerja sambil belajar di kota ini. Selain ingin mendapatkan ilmu, saya ingin menyisihkan uang gajinya nanti untuk membantu roda ekonomi keluarga saya di kampung,” ujar Budi kepada Genpi.co.
Sementara pendatang baru lainnya, Lingga (27) dari Banda Aceh mengadu nasib di Jakarta sejak September 2018. Dengan berbekal ijazah sarjana komunikasi lulusan dari Universitas Syiah Kuala Aceh, dirinya baru diterima kerja pada bulan November 2018 di satu perusahaan percetakan.
“Saya datang ke Jakarta dengan kisaran uang Rp 3 juta, dan uang Rp1,3 juta untuk membeli tiket pesawat. Alhamdulillah saya diterima di perusahaan percetakan sekarang ini,” ungkap Lingga.
Selama kerja di perusahaan percetakan tersebut, Lingga mengaku mendapatkan gaji sebesar Rp5 juta per bulannya. Sebelumnya saat bekerja di Aceh, dia hanya mendapatkan gaji sebesar Rp 2,7 juta.
Iren (foto; Winento)
Meski biaya hidup di Jakarta sangat tinggi namun Lingga bisa menyisihkan gajinya hingga Rp3 juta untuk ditabung. Dia membeli sapi untuk diternakkan di kampung halamannya yang ada di Desa Sianjuanju, Aceh.
“Dengan kondisi seperti ini, 10-15 tahun mendatang saya akan meniti karir di Jakarta. Nantinya, jika ilmu sudah mumpuni dan pengalaman memadai, saya akan kembali ke kampung atau menularkan pekerjaan ini ke sanak saudara,” ujar Lingga.
Aksi nekat juga dilakukan Rika yang berasal Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara untuk mencari kerja di Jakarta. Setelah lulus SMA dan menyadari bahwa lapangan pekerjaan di desanya sangat terbatas, sehingga ia nekat pergi ke Jakarta untuk mendapatkan pekerjaan.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News