
Tak dapat dipungkiri penduduk di kota Jakarta yang bertambah. Berdasarkan data Badan Statistik Pemprov DKI Jakarta tahun 2018 mencapai 10.467.629 orang. Yayat menilai kepadatan penduduk itu tak lepas dari kelompok urban yang mendatangi kota Jakarta untuk berjuang mendapatkan pundi-pundi rupiah.
Namun, seiring tak terbendungnya arus urbanisasi masih ada kebijakan pemerintah tak siap menghadapi kelompok urban. Pengelolaan kelompok urban belum terbentuk dengan baik seperti pendataan yang resmi dan terstruktur.
“Ketika kelompok urban datang, aturan yang diprioritaskan melalui sisi administrasi kependudukan. Setiap urban yang datang harus membekali diri identitas yang jelas seperti KTP, pengantar nomor induk kependudukan yang teregisterasi. Nantinya identitas yang teregistrasi tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah setempat untuk dipantau dan pemberdayaan tenaga kerja di kota tujuan,” ungkap Yayat.
Saat ini kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang tidak menerapkan operasi yustisi belum menjadi sebuah solusi. Pasalnya, kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan pemberdayaan para kelompok urban yang berpotensi menimbulkan masalah bagi kota Jakarta.
Jika dibandingkan dengan pengelolaan urbanisasi di Kota Surabaya, Walikota Surabaya Tri Rismaharini menerapkan aturan yang tegas bagi para pendatang ke Kota Pahlawan.
“Setiap pendatang harus melaporkan diri, mereka [pendatang] harus memiliki tujuan, lampiran kontrak kerja dan akan menetap di mana. Sehingga setiap pendatang tercatat dan langkah tersebut dapat menekan jumlah pendatang,” tegas Yayat.
Menyikapi kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang tidak akan melakukan operasi yustisi, Yayat menilai, Pemprov DKI harus memiliki rencana yang jelas terhadap kelompok urban.
Dia mengatakan, Pemprov DKI harus siap mengelola para kelompok urban dengan menjadikan sebuah kota menjadi media pembelajaran bagi para pendatang.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News