
“Fenomena seperti ini sebenarnya mencerminkan kedangkalan dalam memahami ajaran-ajaran Islam yang kemudian diekspresikan dengan laku budaya yang Arab sentris,” tegasnya.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Jejaring Dunia Santri ini menjelaskan umat Islam sudah seharusnya memiliki kemampuan rekonstruksi terhadap tafsir ajaran Islam sehingga mampu diamalkan di Indonesia tanpa bertabrakan dengan kultur setempat.
Menurut dia, orang yang gagal mengikuti ini ditandai dengan latah dan ikut-ikutan budaya lain adalah mereka yang tidak memiliki imunitas ideologi dan kultural.
BACA JUGA: Masyarakat Diajak Tingkatkan Kewaspadaan Terhadap Potensi Radikalisme dan Terorisme Sejak Dini
“Menurut saya, kiai-kiai di Indonesia justru lebih Islami dan mahir dalam memahami Islam meskipun dia hanya pakai sarung, kopiah, atau pakaian kesehariannya. Melalui pemahaman keagamaan yang tepat dan related dengan tradisi-tradisi yang kita miliki, Islam malah lebih mudah diamalkan dan dipahami oleh seluruh suku dan bangsa di Nusantara,” tegasnya.
Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta itu mengungkapkan bahwa perpolitikan hanya salah satu cara menghadirkan Islam.
BACA JUGA: Terduga Teroris Pemimpin Kelompok JAD Bima Ditangkap Densus 88
Justru kejayaan dunia Islam itu dikenal bukan dari sistem politik atau kenegaraannya, melainkan dari perkembangan sains dan teknologi hasil temuan para ulama di zaman dulu.
“Kita ingat ketika umat Islam, seperti Al-Khawarizmi, Ar-Razi, Ibnu Batuta, Al Idrisi, dan lain sebagainya mampu menemukan teknologi, mulai teknologi optik, teknologi kimia, teknologi ilmu sains matematika. Di situ Islam berkembang melalui pengetahuan dan peradaban, hingga didirikannya Baitul Hikmah sebagai pusat literatur di masa dinasti Abbasiyah,” terang Zastrouw. (*)
BACA JUGA: Densus 88 Tangkap 7 Penyebar Teror saat Kunjungan Paus Fransiskus
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News