
Maka justru saya ingin membuat gemes wanita Disway itu. Saya pun mengiriminyi WA. "Mengapa latar belakang pendidikan ditulis secara dentil? Mungkin karena yang menulis artikel ini hanya lulusan SMA! Iri? Cemburu?" jawab saya.
Saya tahu kebiasaan wanita Disway satu itu. Suka ngambek. Apalagi kalau dia mendengar saya ke Cirebon tanpa memberi tahunyi. Bisa 100 WA harus saya baca dengan perasaan merasa berdosa.
Kali ini, membaca jawaban itu, ternyata dia tidak gondok. Dia lebih tertarik mengomentari soal iri dan cemburu itu. Dia merasa punya teman yang juga hanya tamatan SMA.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Tenang Panas
"Saya bersyukur meski hanya rampung madrasah. Itu pun sambil ngasuh adikku yang no 2 dan 3. Saya diizinkan masuk sekolah sambil mengasuh adik karena guru-gurunya tetanggaku sendiri".
"Waktu itu kalau saya gak boleh bawa adik masuk kelas, saya gak mungkin bisa belajar. Adik-adikku pasti ngerengek nangis di luar kelas".
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Ambeien Bukan
Akhirnya wanita Disway Indramayu itu tidak lanjut ke universitas. Padahal sering mendapat nilai 100. Dia harus menghidupi dua adik dan ibunyi.
Waktu itu pilihan tersulit baginyi. Sekolah atau mencari nafkah. Nilai akademiknyi begitu baik. Tapi dia kakak tertua. Harus memberi makan dua adik dan ibunda. Kerja pun tidak banyak pilihan. Tidak boleh jauh dari desanyi: harus sambil merawat ibunda.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Agama GPT
"Gak apa-apa. Saya gak butuh gelar akademis. Saya lebih bangga jadi kakak yang baik. Bisa ngayomi adik-adik, meringankan beban orang tua.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News