
Ekspor porang Indonesia pun jatuh. Mengalami nasib yang serupa dengan ekspor sarang burung –ketika ada pengusaha sarang burung yang memakai kimia untuk pemutih.
Sebelum Covid-19 harga porang juga tinggi. Meski belum sampai Rp 12.500 tapi sudah bikin mata berubah hijau.
Kalau di masa lalu saya harus kampanye agar petani mau tanam porang, dengan harga segitu tidak diperlukan kampanye apa pun: para petani emosi. Ramai-ramai tanam porang.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Mazhab M&Q
Harga benih pun melambung. Sampai Rp 150.000/kg. Tidak masuk akal. Tapi ditabrak juga. Akibatnya biaya produksi naik drastis.
Yang semula saya hanya menganjurkan tanam porang di tanah tidak subur kalah oleh emosi. Tanah subur pun diubah jadi kebun porang.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Tuna Santri
Maka ketika harga porang jatuh banyak petani menjerit. Lalu diperparah oleh Covid-19: Tiongkok tidak lagi impor porang.
Saat produksi porang melimpah itulah mulai banyak yang terpikir membangun pabrik tepung porang. Tiba-tiba saja ada sembilan pabrik porang: di Ponorogo, Madiun, Nganjuk, Sidoarjo, Pasuruan. Hampir serentak.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Kereta Luxury
Maka terjadilah apa yang harus terjadi: pabrik kekurangan bahan baku porang. Harga melambung.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News