
Dalam keadaan normal saya bisa menulis di dalam mobil. Kang Sahidin yang pegang setir. Kali ini tidak bisa. Setir harus saya pegang sendiri. Tamunya empat orang.
Sehari penuh saya harus menemani mereka. Bahkan saya lupa: sudah punya bahan tulisan atau belum.
Tengah hari saya ajak mereka ke rumah: makan siang. Ibunya Azrul ingin memamerkan rendang wagyu, sop buntut plus-plus, kepala ikan sembilang Kalimantan, ikan pipih goreng Riau, sambal balacan, sambal hijau, dan sambal soto.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Bram Parung
Dua hari sebelumnya istri saya beli cabai 2 kg. Itu setelah dia saya beri tahu: salah satu tamunya dari Chengdu, Sichuan. Itulah provinsi juara pedas di Tiongkok. Istri mau bikin mereka kapok: bikin sambal terpedas dalam sejarah hidupnyi.
Tamu satunya lagi, Anda sudah tahu: Meiling, dari Singapura. Istri saya akan menyiapkan oleh-oleh sambal untuk Meiling: tiga toples. Sudah jadi kebiasaannya.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Tebakan COP
Acara berikutnya ke luar kota. Perjalanan dua jam. Balik lagi dua jam. Tiba kembali sudah malam. Masih pula harus menemani makan malam. Mereka ingin makan ??. Sudah pukul 19.00. Piala Dunia sudah mulai: Maroko lawan Iran. Ingin sekali nonton. Tidak bisa. Lalu ingat: belum punya bahan tulisan. Bahkan belum sempat memilih ''komentar pilihan''. Padahal sudah ditunggu oleh admin.
Maka ketika mereka makan malam, saya buka HP. Saya pilih baca komentar. Lapar bisa ditunda, deadline tidak bisa. Kadang mereka bertanya: ???Itu karena mereka melihat saya lagi tersenyum-senyum membaca komentar. Senyum bahagia dikala lapar.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Jokowi dan Ganjar Pranowo: Catat Sejarah
Makan malam hampir selesai. Memilih komentar pun selesai. Saya buru-buru ikut makan. Tinggal sisa-sisanya. Untung sisanya lebih banyak dari yang bukan sisa.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News