
Dalam sejarahnya Belanda-lah yang jadi pedagang nilam. Belanda jual minyak nilam ke Prancis. Maka Belanda terus mencari sumber minyak nilam. Sampai jauh ke dunia timur.
Belanda yang sudah menguasai perdagangan rempah tinggal menambah satu komoditas: nilam. Sumbernya sama: dari Nusantara.
Maka Belanda pulalah yang melakukan penelitian. Belanda menanam nilam di berbagai wilayah Nusantara. Konon sumber awal benihnya dari Filipina –mungkin dari wilayah selatan yang dekat dengan Ternate. Waktu itu Belanda menguasai rempah Ternate.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Suhu Besar
Dari hasil riset itulah diperoleh kesimpulan: yang ditanam di Aceh-lah yang terbaik. Maka Aceh menjadi sumber utama nilam Eropa. Bahkan, kata direktur riset nilam USK Dr Syaifullah Muhammad, kata nilam itu sendiri singkatan dari Netherlands Indische Landook Acheh Maatschappij.
Ketika Aceh bergolak, lama-lama produksi nilam Aceh merosot. Kualitas merosot. Harga merosot. Petani tidak mau lagi menanam nilam. Kalau pun masih ada, produktivitasnya rendah. Juga merusak lingkungan: perladangannya berpindah. Lalu menggunakan kayu bakar untuk menyulingnya.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Putri Cowell
Ketika satu lembaga dari Korea ingin membantu ekonomi Aceh, mereka juga memilih nilam. Tapi siapa yang harus dihubungi? Maka lembaga dari Korea itu datang ke USK. Rektor USK Prof Dr Ir. Marwan, langsung membentuk tim riset nilam. Juga langsung menunjuk Dr Syaifullah Muhammad ST MT sebagai direktur risetnya.
Itu tahun 2015. Dr Syaifullah adalah alumni fakultas tehnik kimia USK. Lalu meraih gelar master dan doktor di Perth, Australia Barat. Juga di teknik kimia. Di Curtin University. Disertasinya: Heterogeneous Catalytic Oxidation of Organic Compound.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Pelangi Kesepian
Syaifullah kini 52 tahun. Ia orang Aceh Tamiang. Hidupnya ia habiskan di USK. Khususnya di riset nilam.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News