
Awalnya Panji tidak mengaku. Tapi warga di situ tahu gelagat orang yang cari tanah. "Ada tanah luas di sana. Tapi tanahnya jelek," ujar warga desa itu.
Mendengar kata ''tanah jelek'' Panji senang. Pasti harganya murah. Kawasan itu memang gersang. Tidak banyak pohon. Belum ada gerakan penghijauan. Belum ada irigasi. Yang ada padang ilalang. Sejauh mata memandang.
Panji minta dibawa ke tanah jelek itu. Luasnya 60 hektare. Harganya murah sekali. Jadi. Panji membayarnya. Lalu membuat rumah gubuk di lokasi itu.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Zaytun Gontor
Berita dari mulut ke mulut pun menyebar: siapa yang mau menjual tanah jelek bisa datang ke gubuk itu. Langsung dibayar. Lama-lama terkumpul tanah 1200 hektare. Untuk pesantren.
Dari mana Syekh Panji mendapatkan uangnya? Pembelian tanah itu dilakukan setelah Panji 10 tahun bekerja di luar negeri. Dengan gaji dolar. Ia punya tabungan.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Zaytun Ibrani
Ditambah wakaf dana dari sekitar 20 orang sahabat aktivis lamanya. Salah satu sahabatnya itu adalah pendiri pondok pesantren Perenduan, Sumenep, Madura. Alumni Gontor juga.
Waktu bekerja di luar negeri Panji tidak membawa istri. Sang istri ditinggal di Banten. Punya anak-anak kecil. Perkawinan mereka tok-cer.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: I-baru CSIS
"Sepuluh bulan setelah kawin saya sudah punya anak pertama," ujar Syekh Panji.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News