
Pulangnya salep itu tertutup lagi dengan debu baru. Kadang di antara kami, tiga atau empat anak, saling sepak debu. Siapa yang bisa menyepak debu paling tinggi ia yang hebat. Apalagi kalau bisa mengenai muka temannya.
Kaki kami memang penuh koreng bernanah tapi bahagia: hari itu bisa membolos satu hari. Minta izin guru untuk ke klinik pada dasarnya memang bukan untuk sembuh.
Makam ibu saya sederhana tapi bersih. Mungkin adik saya yang membersihkannya. Ibu berbaring di situ sejak tahun 1963, ketika saya berumur 12 tahun.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Donald Trump: Ringan Berat
Dulu, ketika kecil, ke makam ibu adalah acara tahunan: salat Idulfitri, selamatan ambeng (tiap rumah bikin ambeng, dibawa ke masjid untuk dimakan bersama), sungkeman di rumah nenek, lalu ke makam. Setelah itu baru unjung-unjung ke rumah famili.
Tidak ada yang memberi angpao seperti zaman sekarang. Ayah dimakamkan di Takeran. Tidak ada wasiat harus dimakamkan dekat ibu. Saat ibu meninggal ayah baru berumur 56 tahun. Ayah tetap menduda sampai meninggalnya di usia 85 tahun.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Sri Mulyani: Jaga Dara
Satu-satunya pesan ayah adalah: jangan pernah ziarah ke makamnya sebelum ke makam KH Hasan Ulama. Itu kakek buyut saya dari ibu. Yang oleh ayah dianggap sebagai ''guru'' tarekatnya: tarekat Satariyah.
Ayah merasa tidak menghormati ''guru'' kalau ada orang ke makamnya tanpa lebih dulu ke makam guru. Bahkan, ayah berpesan, kalau perlu tidak usah ke makam ayah. Cukup didoakan dari makam Hasan Ulama.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Donald Trump: Lalu Playboy
Ada bangunan kuno di atas makam Hasan Ulama. Makamnya sendiri dikerudungi kelambu. Biasanya kami tahlil di teras makam.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News