
Setelah itu Rifda pilih ''menghilang''. Dia hamil. Begitu sulit Rifda mendapat kehamilan. Maka ketika akhirnya bisa hamil dia membuat keputusan besar: meninggalkan dunia usaha. Rifda konsentrasi penuh dengan kehamilannya.
Lahirlah anak perempuan. Itulah satu-satunya anaknya. Dia besarkan anak itu sendirian, sepeninggal suaminya. Dia sekolahkan anak itu tinggi-tinggi. Sampai Boston University, Amerika Serikat.
Lalu Rifda kembali ke dunia usaha. Kali ini dengan tekad baru: sebagai usaha sosial. Sociopreneur. Dia juga kembali ke habitat mudanya: di dunia pertanian.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Kepulauan Widi: Lelang Widi
Waktu itu Rifda sudah punya modal. Sebelum hamil perusahaannya sudah besar. Dia pernah bikin sejarah: memenangkan tender internasional. Yakni di pembangunan transmisi listrik tegangan tinggi di Freeport, Papua.
Waktu itu Freeport membangun pembangkit listrik di dekat pantai Timika. Listriknya harus dialirkan ke tambang emas di pedalaman Papua. Perlu transmisi sejauh 60 Km dari Timika ke area tambang.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Perdana Menteri Malaysia: Mau Voting
Begitu proyek itu selesai dan Rifda hamil, perusahaan itu dia tutup. Dia meninggalkan reputasi yang baik di mata perusahaan asing seperti Freeport.
Sosiopreneur pertama yang dia lakukan adalah ini: menyelenggarakan pameran produk pertanian. Nama kegiatan itu Anda masih ingat: Agrinex Expo. Setiap tahun. Besar banget. Saya hadir sekali. Yakni ketika masih menjadi sesuatu dulu. Rasanya di Agrinex itulah saya bertemu muka kali terakhir dengan Rifda.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan soal Dokter Hewan: Protein Yuda
Dari Agrinex, Rifda berjalan ke hulu. Dia ikut gabung ke gerakan pengabdian masyarakat bersama alumni Institut Pertanian Bogor (IPB). Mereka akan membangun proyek bersama: Kampung IPB. Rencananya kampung itu sampai 175 hektare. Di daerah miskin Banten Selatan.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News