
Udin memperhatikan gue. Dia kayaknya ngerti apa isi hati gue yang galau.
Saya tunjukin, ya. Mas masih mau melangkah apa engga nantinya, itu terserah mas, kata si Udin. Dia langsung menutup mata gue dengan tangannya, sekitar dua detik. Lalu membukanya lagi. Diapain gue?
Bukti aja. Sekarang saya udah buka mata batin mas. Lihat ke arah lahan itu, kata Udin.
WTF! ITU APAAN? Gue ngeliat banyak banget perempuan berambut panjang sampai ke tanah di atas pohon! Mereka bergelantungan sambil tertawa-tawa! Beberapa ada yang melihat ke arah gue. Wajah mereka berdarah, terluka, bahkan ada yang satu matanya tercongkel! Seketika gue pusing dan hampir pingsan tapi udin berhasil membuat gue tetap terjaga. Lalu Udin melemparkan ayam cemani ke arah kebon tersebut dan mereka memperebutkannya sambil tertawa melengking. Di pagar arah utara gue ngeliat sosok tinggi gede berjalan pelan menghampiri gue dan Udin. Udin segera melempar sosok itu dengan darah ayam cemani dan di dalamnya ditaruh kemenyan. Bunga-bunga kematian juga dilemparkan si udin ke arah lahan begitu pula tampah-tampahnya. Kuntilanak yang jumlahnya puluhan itu seperti berpesta pora. Saat itulah Udin mengajak gue untuk pergi dari tempat itu. Katanya, bermalam di satu rumah warga yang tempatnya gak jauh dari lahan. Lah apa kabar mobil gue?
Udah tinggal aja, ambil saja besok pagi. Nyawa kamu sudah diincar, kata Udin, gue nurut. Gak kerasa si Udin lari sambil megang tangan gue, anj*r. Ah ya sudahlah, momen kepepet. Tangan si Udin sampe dingin banget. Mungkin dia lebih ketakutan daripada gue.
Pintu kontrakan salah satu warga itu terbuka. Dia mempersilahkan gue masuk. Namanya Joko. Joko Segera menutup pintu rumahnya. Joko memasang sebuah tulisan di belakang pintu dengan kalimat yang diambil dari Alquran. Eh si Udin kok gak ikut masuk?
Lupakan Udin. Nih, minum air ini, ya. Kalau ada yang masuk di badan kamu pasti muntah, kata Joko.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News