
Yang tinggal hanya sepi. Ayah mengajak saya duduk di emper. Di atas balai-balai bambu-amben. Lantai tanah masih basah, bekas kebanyakan disiram air agar tidak berdebu.
“Dakelan… ,” kata ayah saya membuka pembicaraan.
Ia tidak bisa mengucapkan ”h” yang berat di nama Dahlan.
BACA JUGA: Pesanggrahan Djoyoadhiningrat
“Tahukah kamu kenapa ketika semua orang tadi menangis ayah tidak menangis?”
Saya diam.
BACA JUGA: UV Tinggi
“Sebetulnya ayah tadi juga ingin menangis. Tapi ayah ingat pesan guru. Harus bisa mengikhlaskan apa saja,” katanya.
Saya masih diam.
BACA JUGA: Lol Mama
“Ayah tadi tidak menangis karena sedang berlatih ikhlas. Ikhlas itu harus dilatih,” tuturnya.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News