
Bahkan tulisan di akta seperti itu kadang suka-suka pengurus kampung: mau ditulis seperti apa.
Baru di zaman belakangan orang peduli ejaan nama anak masing-masing.
Di desa, di Jawa dulu, waktu saya kecil, kami tidak peduli dengan ucapan mana yang paling benar.
BACA JUGA: Pesanggrahan Djoyoadhiningrat
Misalnya ketika belajar mengeja huruf Arab. Huruf bertama dibaca ''alip''-bukan alif.
Huruf kedua, ketiga dan keempat, semua dibaca sama: ''sak''-tidak perlu mengubah-ubah posisi lidah.
BACA JUGA: Capres Andika
Demikian juga huruf "ain", kami baca dengan bunyi "ngain". Alimin jadi Ngalimin. Alamin jadi ngalamin.
Pun sampai saya remaja masih seperti itu. Kebiasaan itu pula yang terbawa sampai dewasa.
BACA JUGA: 99 pCt v 1 pCt
Akibatnya, ketika belajar bahasa Inggris dan Mandarin saya terbiasa kurang peduli dengan konsonan: time saya baca taim-bukan thaim. ? saya baca ''ta'' –harusnya tha (da).
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News