
"Danau dan rawa yang ada di sekitar lokasi tersebut banyak yang kering sehingga makhluk hidup yang ada di danau atau rawa akhirnya turun semua ke daerah muara, terkumpul di Sungai Mentaya. Belum lagi ditambah pakan alaminya yaitu ikan dan udang yang makin sulit didapat akibat kegiatan ilegal yakni setrum dan diracun," ujar Muriansyah.
Beberapa langkah mitigasi konflik juga sudah dilakukan BKSDA Kalteng terhadap konflik buaya muara maupun senyolong dengan manusia di Kabupaten Kotawaringin Timur, khususnya mencegah serangan buaya terus berulang.
Langkah yang dilakukan yaitu pemetaan daerah-daerah rawan konflik, memberikan imbauan langsung atau anjangsana kepada warga yang tinggal di daerah-daerah rawan konflik atau serangan, memberikan imbauan melalui media massa cetak dan elektronik.
BACA JUGA: 6 Orang Meninggal Dunia Diserang Buaya di Kalimantan Tengah
BKSDA juga melakukan patroli bersama dengan Ditpolair Polda Kalteng, memasang plang imbauan atau peringatan, observasi ke daerah-daerah rawan konflik untuk mengumpulkan informasi dan data awal penyebab buaya memasuki perairan sekitar pemukiman dan menyerang manusia.
Selain itu, ada pula penyitaan atau serah terima buaya yang dipelihara masyarakat dengan total sudah sebanyak 18 ekor dan penangkapan dua ekor. BKSDA juga mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur membahas serangan buaya dan cara penanganannya, mengunjungi dan membantu biaya pengobatan kepada korban, serta berupaya menangkap buaya.
BACA JUGA: Ratusan Babi Hutan di Kalimantan Mendadak Mati, Ini Penyababnya
"Daerah-daerah rawan konflik atau serangan buaya yakni perairan sungai wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Mentaya Hilir Utara, Teluk Sampit, Pulau Hanaut, Mentawa Baru Ketapang, Seranau dan Cempaga. Kami sudah memasang 35 buah plang imbauan atau peringatan agar masyarakat lebih berhati-hati terhadap ancaman serangan buaya," demikian Muriansyah. (ANT)
Tonton Video viral berikut:
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News