GenPI.co – Palembang memiliki sebuah kawasan dengan budaya literasi yang mengakar kuat. Lokasinya di sebelah utara masjid Agung Palembang, di kawasan bernama Guguk Pengulon 19 Ilir. Itu adalah pusat literasi Palembang di masa lampau.
Namun pusat literasi itu tak sekadar jadi histori. Jejaknya masih ada hingga kini. Bahkan aktivitas terkait literasi tetap lestari. Sebab ada dua perpustakaan yang cukup besak di kawasan itu, perpustakaan Umariyah dan perpustakaan Al Wasthiyyah.
Baca juga: Prasasti Ungkap Sejarah Literasi Palembang
Kedua perpustakaan itu diapiti oleh beberapa toko buku bekas yang jadi favorit pelajar dan mahasiswa di Kota Pempek. Semacam Palasari di Kota Bandung.
Jika diteliti lebih cermat, akan tampak fakta bahwa segala aktivitas ekonomi yang terjadi di kawasan itu semuanya berkaitan dengan aksara. Selain toko buku, ada juga gerai-gerai kecil jasa plat nomor kendaraan. Lalu, jasa membuat stempel hingga toko-toko fotokopi.
Bisnis aksara dan pusat literasi Guguk Pengulon 19 Ilir i berjalan beriringan dalam sejarah yang panjang.
Pakar literasi Palembang Ahmad Subhan mengatakan, pada masa kesultanan Palembang, kawasan sekitar masjid Agung ditempati oleh guru agama. Di daerah Guguk Pagulon itu, para guru tersebut juga beraktivitas memperbanyak Al-quran dan kitab-kitab pelajaran agama.
“Sebagai guru, mereka terbiasa bergaul dengan huruf dan angka, terbiasa memperbanyak Al-Quran dan kitab-kitab pelajaran agama,” ujarnya kepada GenPI.co belum lama ini.
Awalnya aktivitas menyalin kitab di pusat literasi itu dilakukan dengan manual. Lalu seiring kedatangan mesin cetak jenis lithograph pertama di Palembang, para guru ini beralih ke mesin untuk menyalin dan memperbanyak kitab-kitabnya.
Cetak Litografi lalu menancapkan akarnya. Teknik cetak menggunakan batu kapur mudah dibuat dan cocok untuk mencetak kaligrafi Arab. Juru cetak cukup menulis di atas kertas yang lalu menjadi pola yang menempel pada batu yang akan dijadikan alat untuk mencetak.
Pada masa selanjutnya percetakan berkembang pesat di Palembang Usaha percetakan tumbuh subur yang dijalankan baik oleh orang Melayu maupun para peranakan Arab. Pada tahun 1920-an, warga Belanda ikut mendirikan percetakan dan penerbitan di Palembang. Percetakan itu bernama KA Ebeling dan berkantor di jalan tengkuruk, jalan yang kini bernama jalan Sudirman.
Aktivitas mencetak pun terus lestari di Guguk pengulon 19 Ilir. Sebagaimana tempat itu sejak awal adalah pusat literasi. Mulai dari usaha sederahana pembuatan plat motor, hingga cara-cara canggih menggandakan dokumen dengan mesin fotokopi.
“Bisnis aksara yang tumbuh subur di tempat ini adalah bukti bahwa lingkungan sekitar Agung Palembang dulunya merupakan sebuah skriptorium,” imbuh Ahmad Subhan.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News