Menempuh perjalanan panjang harus rela saya tempuh demi untuk menikmati secuil surga di bagian timur negeri ini. Takabonerate, sebuah tempat di Kepulauan Selayar, menjadi tujuan saya. Terbang dari Jakarta, goncangan dalam pesawat yang saya rasakan berkali-kali seolah tak pernah terlupakan. Hanya doa dan harapanlah yang tersirat dalam benak saya saat itu. Syukurlah, Bandar Udara Hassanudin Makassar ramah menyambut, meski kecemasan akibat turbulence di udara masih bersarang di dada.
Perjalanan tak berhenti sampai di situ. Masih ada tujuh jam perjalanan darat yang mesti ditempuh dari Makassar menuju Selayar, kepulauan kecil yang terpisah dari pulau Sulawesi. Perjalanan darat sengaja saya pilih agar bisa sekaligus menikmati keindahan Tanjung Bira, meski hanya numpang lewat.
Tapi jika tidak ingin buang waktu, ada alternatif lain. Sebab Selayar pun bisa dicapai melalui udara dan mendarat di Bandara H. Aeropala. Namun petualangan akan terasa hambar jika melalui jalan pintas. Sebab saya percaya, menjadi petualang adalah menikmati perjalanan, seberapa pun sulitnya itu, lalu berproses dengannya.
Tiba di Selayar, tantangan selanjutnya adalah melintasi laut. Sebab, Takabonerate berada di seberang sana. Rasanya ingin merebahkan badan sejenak setelah perjalanan panjang yang membuat pegal. Rupanya pemilik homestay tempat saya menginap tidak rela saya hanya besantai di rumahnya saja. Ia mengajak saya ke pantai Sunari untuk menikmati romantisme yang disuguhkan langit barat Selayar, ketika mentari perlahan turun ke peraduannya. Indah sekali.
Senja itu, kawasan pantai terlihat ‘seksi’ dengan panorama matahari terbenam. Bola raksasa itu menggelinding perlahan, sembari memenuhi horizon barat dengan warna jingga keemasan. Suasana bertambah syahdu lantaran angin bertiup pelan dan riak laut yang tenang. Momen ini membuat saya betah, ingin berlama-lama menikmati kedamaian setelah sekian waktu terjebak dalam hiruk-pikuk kota yang kerap memusingkan.
Tak sia-sia menempuh perjalanan yang penuh dengan drama itu. Sebuah pengorbanan tentu ada jika ingin menikmati hasil yang memukau. Suguhan awal dari Pantai Sunari terasa sungguh berkesan.
Hari berselang, tubuh sudah segar setelah beristirahat cukup semalam. Petualangan hari ini menanti di depan mata; mengunjungi sebuah tempat yang menjadi alasan mengapa saya bepergian sejauh ini.
Dari beberapa referensi, saya mendapati bahwa Takabonerate merupakan sebuah taman laut yang indah. Di sekitar kawasan tersebut terdapat 17 pulau yang hanya tujuh di antaranya berpenghuni.
Tak mau melewatkan momen, beberapa perlengkapan sudah saya siapkan sejak semalam. Ada kamera, drone, action cam, fin, dan snorkel. Bersama beberapa helai baju, perlengkapan itu saya jejalkan di tas. Tak sabar rasanya segera menikmati taman laut itu.
Menggunakan kapal penumpang yang sudah dicarter oleh pengelola trip, saya pun melanjutkan perjalanan ke Takabonerate. Waktu tempuhnya sekitar 8 jam untuk menuju salah satu pulau di Takabonerate, yaitu pulau Jinato.
Rasanya hampir mati gaya di atas kapal. Tak banyak yang bisa saya lakukan selain tidur dan melihat ikan terbang di laut. Kalau beruntung, sesekali akan disapa oleh lumba-lumba yang pemer keahlian melompat di permukaan. Jangan mengharapkan sinyal internet dari provider kesayangan. Bisa menerima telpon saja sudah bersyukur rasanya.
Rasa syukur terucap ketika kapal mulai bersandar di dermaga. Sambutan ramah penduduk Suku Bugis Jinato pun terasa hangat di hati. Pulau kecil itu nantinya akan menjadi rumah sementara selama beberapa hari ke depan . Di Takabonerate, alam seketika merebut semua perhatian. Tak ada internet tak masalah. Bermain bersama alam bisa saya lakukan sepuasnya. Menu santapan laut pun turut melengkapi.
Keindahan alam di Jinato sontak membuat saya jatuh hati. Pasir putih, sunset, hingga biota lautnya, semuanya indah. Rasanya ingin terus berada di air selama berada di tempat itu.
Tapi sayang, banyak sekali karang yang rusak di beberapa spot penyelaman. Ini disebabkan karena adanya penyelam kompressor. Demi mendapatkan ikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat para nelayan melakukan aksi pengeboman di laut, dan mengambil ikan di dasar laut menggunakan selang sepanjang ratusan meter dengan alat bantu kompressor.
Kondisi tersebut bikin saya geleng kepala. Padahal Takabonerate terkenal sebagai taman laut dengan Atol terbesar nomor tiga setelah Atol Kwjifein di Kepulauan Marshall dan Atol Suvadiva di Maladewa.
Tak hanya pulau Jinato yang menyuguhkan keindahan. Pulau Tinabo pun tak kalah indah. Pulau tak berpenduduk ini bisa dijangkau dengan menepuh perjalanan selama dua jam saja dari Jinato.
Di Tinabo, saya bisa dengan leluasa bermain dengan biota laut hanya di kedalaman dua meter saja. Sementara di pinggiran pantai saya disapa oleh puluhan bayi hiu yang berenang kesana kemari dengan lincahnya. Pesona keindahan alamnya pun begitu memanjakan mata. Membuat raga tak ingin pergi dari tempat itu, agar bisa mereguk keindahannya setiap saat, kapan pun.
Sayang, waktu bersenang-senang sudah selesai. Beberapa hari menikmati Takabonerate rasanya seperti hanya sejenak. Namun dalam waktu yang singkat tersebut, Takabonerate seolahmengajarkan saya tentang bagaimana berucap syukur, menghargai ciptaan Tuhan dan menyayangi sesama. Kuakui, cintaku tertambat di Takabonerate.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News