Sejak dulu saya selalu terobsesi mengeksplor sesuatu yang dekat dengan tempat tinggal kita, atau yang sangat jauh sekalian. Saya percaya sekali, banyak hal yang bisa dieksplor di sekitar kita, selain mall ataupun tempat komersil lainnya. Tidak jauh dari tempat saya tinggal di Jakarta, ada lokasi wisata menarik di Tangerang, dan ini sangat berpotensi untuk dieksplor, loh.
Kandang Godzilla
Minggu subuh saya berangkat ke Tebing Koja, yang lokasinya di Tangerang. Jarak yang ditempuh sekitar 53 KM kalau diukur pakai Google Maps. Tapi sesuai pengalaman, kalau pagi, jalanan belum terasa macet. Lokasinya ada di Desa Cisuka, Kecamatan Solear, di Kabupaten Tangerang.
Akses perjalanan cukup baik menuju Kandang Godzilla, bahkan sampai ke jalan kecil berkeloknya. Sebab, Kandang Godzilla ini dulunya adalah tempat galian, sehingga banyak sekali kendaraan besar yang bolak-balik masuk ke kawasan ini, sehingga dibuatkan jalanan. Cuma karena akses sempit, kalau ada mobil dari dua arah, harus mengalah dan tidak bisa berpapasan.
Pada waktu saya sampai, saya cukup terkejut dengan pemandangan sekitar yang masih asri; pemandangan yang masih berkabut, suasana tenang, dan udara yang sejuk. Ada tiga mobil terparkir, dan sisanya adalah komunitas sepeda yang berkunjung di sana waktu kami datang. Tiket masuk harganya Rp3 ribu.
Sewaktu memasuki lokasi Kandang Godzilla, kami langsung disambut dengan pemandangan hamparan tebing-tebing yang guratannya menyerupai grand canyon. Lebih menariknya lagi, ada danau dibeberapa sisi bawah tebing yanf berpadu dengan sawah di dekatnya. Kombinasi inilah yang membuat Panorama Kandang si Godzilla ini sangat juara saat matahari terbit.
Banyak fotografer dan pesepeda yang mampir disini untuk mengabadikan momen. Apa lagi saat sinar matahari sudah mencapai tebing-tebing, yang pasti memanjakan netizen untuk mengabadikan momen lewat Instagram. Bahkan, membuat efek foto siluet pun juga bisa tercipta tanpa adanya efek apapun! Percaya tidak, kalau foto-foto saya ini cuma diedit menggunakan editing sederhana iPhone, yakni menambahkan Brilliance saja.
TIPS: jangan lupa menggunakan alas kaki trekking yah! Karena disini untuk mendapatkan foto yang apik perjuangan dengan memanjat—jangan sampai demi foto satu, kita malah jatuh tersungkur.
Telaga Biru Cisoka
Setelah menikmati Kandang Godzilla, saya menuju ke Telaga Biru Cisoka. Jarak sekitar 20 KM dari tempat pertama. Lokasinya cukup sulit untuk diakses menggunakan mobil, karena medannya lebih alami alias belum diaspal. Setelah sampai, saya pun dimintai retribusi sebesar Rp15 ribu untuk masuk satu rombongan, dan biaya parkir Rp10 ribu. Meskipun jalanan masih sempit, namun disediakan banyak kantong parkir disana.
Di tempat ini ada tiga danau yang bisa dinikmati pemandangannya. Nikmati saja yah, jangan nyemplung. Saya sampai di tempat ini pukul 10:00 WIB, yang ternyata bukan waktu terbaik untuk menyaksikan refleksi warna danau. Orang-orang setempat pun bilang kalau sudah tengah hari, maka refleksi warna pada danau ini akan terbentuk sempurna. Bahkan ada 3 warna, hijau, biru muda dan biru tua.
TIPS: untuk mendapatkan warna biru muda dan tebing putih maka ambilah gambar di danau yang tengah. Tapi untuk biru yang lebih gelap, ada di danau ketiga yang posisinya dibaliknya danau biru muda.
Pasar Lama Tangerang
Oke, saya pun melanjutkan perjalanan menuju Pasar Lama Tangerang yang jaraknya hampir satu jam. Penampakannya sebetulnya biasa kalau dari samping. Seperti komplek perumahan kuno diseberang sungai.
Tampilan pasar lama ini seperti Old Chinatown di Penang, lengkap dengan sajian kuliner yang berjejer dan minta untuk dibeli semua. Entah kenapa tampilan kwetiauw-nya seperti ada tangan yang memancing untuk mampir ke warung.
Saya mampir sebentar ke Klenteng Bon Tek Bio disana. Begitu masuk, rasanya sangat otentik budaya peranakan di tanah air. Saya sebenarnya terbiasa dengan beribadah ke Klenteng sejak kecil di Kudus, Jawa Tengah. Namun suasana disini lebih terasa peranakan dan budaya kunonya.
Sedikit bergeser ke depannya, ada rumah kopi Gouw yang mentereng dengan memamerkan koleksi biji kopi nusantara pada sisi depannya. Saya pun disuguhkan kopi asal Papua, yang saya yakin ini biji dari pegunungan, dan diroasting sehingga mirip dengan Manual Brew. Rasanya pun cukup berat, namun tidak meninggalkan bekas di lidah seusai meminumnya. Itulah keistimewaan kopi asal timur yang meskipun Acidity (keasamannya) nya lebih tinggi, tapi tidak membuat kopi itu sangat berat dikonsumsi. Baru setelah minum dua cangkir, kami membungkus satu ice coffee. Oleh si penjual, sisa kopi special tadi, dicampur condensed milk. Rasanya….. luar biasa. Saya pun cuma bayar…. Rp 30 ribu. Harga yang sangat murah untuk sajian kopi komersial.
Masjid Seribu Pintu
Dari tempat itu saya melanjutkan perjalanan ke lokasi yang tidak biasa. Oke, Saya sebenarnya agak gambling dengan lokasi ini, yakni Masjid Pintu Seribu atau Masjid Nurul Yaqin. Sebab review di Internet sangat terbatas. Bahkan, di sosial media pun hanya sedikit yang akhirnya mengupload foto mengenai tempat itu. Namun, teman jalan saya meyakinkan kalau pasti ada sesuatu di bangunan ini, sehingga bisa bernama Pintu Seribu. Kalau pun ada, anglenya kurang tepat, sehingga tidak nampak keindahan Masjid ini.
Cukup memerlukan usaha untuk waktu masuk ke tempat parkir. Sebab, saya harus jalan setengah kilometer menembus gang rumah warga di sana.
Begitu tiba, sudah banyak warga yang berwisata di sana dan berlalu lalang di sekitar pintu masuk masjid. Memang betul, ada banyak pintu yang nampak dilantai atas, dinding samping sampai pintu masuk. Namun perlu dicatat, situs ini termasuk disucikan oleh warga sehingga tidak sembarang orang boleh masuk. Saya pun cuma menggunakan celana pendek, dan kurang etis untuk masuk ke ruang ibadah yang konon menyimpan banyak nilai historis di dalamnya. Alhasil saya pun memutar pikiran untuk bisa masuk sisi masjid lainnya, dengan mengikuti jalur tembok yang menyerupai benteng.
Sedikit gambaran, saya sudah melakukan riset dari sejumlah sumber. Masjid ini didirikan pada tahun 1978, oleh seorang keturunan Arab, yang dipanggil Al-Faqir oleh warga sekitar. Uniknya, pembangunan masjid ini tidak menggunakan rancangan yang detail. Sebaliknya detail ada pada tembok, dengan menggunakan ornamet religi, yang mengikuti ciri arsitektur Baroque. Beberapa ruangan yang dijaga tidak bisa dimasuki sembarang orang. Ada ruangan yang hanya bisa dimasuki oleh seseorang yang sudah melakukan puasa selama 40 hari sebelumnya.
Nah, itu baru empat dari sekian banyak situs yang bisa diakses di Tangerang. Tertarik?
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News