GenPI.co - Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan dan Politik (Ansipol) Yuda Irlang menilai perjuangan perempuan untuk memperoleh kebijakan afirmatif untuk representasi politik sangat berat.
Walaupun saat ini kebijakan afirmatif 30 persen untuk perempuan sudah diatur dalam undang-undang, implementasinya masih belum berjalan baik.
“Implementasinya masih ‘ecek-ecek’ dan masih jauh dari yang diharapkan,” ujarnya dalam webinar “Memastikan Keterwakilan Perempuan di Penyelenggara Pemilu 2024”, Selasa (4/1).
Menurut Yuda, keterwakilan perempuan di parlemen masih jauh dari ambang batas 30 persen, baik pusat hingga daerah.
Hal tersebut tentu mendapat sorotan yang cukup tajam dari pihak internasional, terutama Komite Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW).
“Pada 2007, Indonesia dapat rapor merah dan dapat teguran keras karena belum bisa meningkatkan angka keterwakilan perempuan,” ungkapnya.
Yuda mengatakan bahwa Indonesia sudah tergabung dan meratifikasi beberapa konvensi internasional yang memperjuangkan hak perempuan.
Mulai dari CEDAW, Beijing Platform for Action, hingga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs).
“Pada 2030, diharapkan keterwakilan di parlemen bisa mencapai 50 persen, walaupun kita tahu tujuan itu sangat sulit untuk dicapai,” katanya.
Lebih lanjut, Yuda menegaskan bahwa hak asasi perempuan adalah HAM. Hal itu sudah diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Oleh karena itu, sudah tak ada alasan untuk mengatakan perempuan tak perlu terlibat dalam dunia politik.
“Tak hanya sebagai peserta, perempuan juga harus terlibat dalam lembaga penyelenggaraan pemilu, baik KPU maupun Bawaslu,” tuturnya.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News