GenPI.co - Pakar hukum tata negara STHI Jentera Bivitri Susanti menegaskan kerangka hukum tidak akan cukup untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia.
Menurut Bivitri, pengawasan pelaksanaan kerangka hukum terkait kebijakan afirmatif sangat diperlukan untuk bisa memastikan kuota perempuan 30 persen di parlemen dan lembaga tinggi negara.
“Rakyat yang diwakilkan itu ada laki-laki, perempuan, kelompok disabilitas, anak-anak, dan seterusnya. Semuanya seharusnya bisa terwakilkan,” ujarnya dalam webinar “Memastikan Keterwakilan Perempuan di Penyelenggara Pemilu 2024”, Selasa (4/1).
Bivitri mengatakan bahwa politik representatif yang baik tak akan bisa terwujud jika sudah tidak jernih dari hulu.
Oleh karena itu, perbaikan keterwakilan perempuan harus bisa dilakukan sejak pemilihan anggota lembaga penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu.
“Tak ada air laut yang jernih jika di sungai-sungainya sejak dari hulu sudah dikotori dengan sampah dan limbah,” katanya.
Bivitri menegaskan komposisi anggota KPU dan Bawaslu harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
“Ada kata ‘memperhatikan’ dan ‘paling sedikit’ yang harus digarisbawahi. Kata ‘memperhatikan’ itu untuk memberikan kepastian bahwa keterwakilan perempuan harus jadi prioritas,” ungkapnya.
Hadirnya kebijakan afirmatif dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah bentuk dorongan agar keterwakilan perempuan sudah berjalan lancar sejak pemilihan anggota lembaga penyelenggara pemilu.
“Tugas kita selanjutnya ialah memastikan kerangka hukum yang sudah ada bisa dilaksanakan dengan baik,” tuturnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News