GenPI.co - Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas atau Menag Yaqut yang mengeklaim Kementerian Agama (Kemenag) hadiah untuk Nahdlatul Ulama (NU) dikomentari oleh banyak pihak.
Salah satunya adalah peneliti Institute for Digital Democracy (IDD) Bambang Arianto.
Dia menilai, pernyataan-pernyataan yang seperti dikeluarkan Menag Yaqut lumrah dalam teori kekuasaan.
“Dalam teori kekuasaan, meraih suatu jabatan itu bisa menjadi indikator keberhasilan dari suatu asosiasi, partai politik maupun figur politik,” kata Bambang.
Masalahnya, pernyataan tersebut seharusnya masuk dalam ranah privasi asosiasi yang bersangkutan, dalam hal ini adalah NU.
Namun Menag Yaqut membicarakan hal privasi seperti ini dengan menggunakan saluran partisipatoris seperti media sosial.
“Menag Yaqut tidak sadar bila kita sekarang itu hidup di era demokrasi digital,” katanya.
Menurut Bambang, seharusnya hal-hal seperti itu dibicarakan secara offline dan tidak melalui saluran berbasis digital.
Karena, era digital apapun yang disampaikan meski itu urusan internal, berpotensi akan diketahui oleh publik.
“Artinya, saat ini siapa saja bisa dengan mudah memviralkan. Apalagi sekarang media sosial bisa dijadikan saluran whistleblowing system dalam membuka skandal apapun,” katanya.
Bambang lantas menyarankan agar Menag Yaqut meminta maaf atas pernyataannya yang telanjur viral tersebut.
Hal tersebut adalah langkah taktis meredam kegaduhan di era demokrasi digital.
“Sebab era demokrasi digital, permintaan maaf akan bisa menurunkan tensi kegaduhan,” katanya.
Bambang juga meminta polemik ini dijadikan pelajaran bagi pejabat lain agar tidak membuat pernyataan yang memicu kegaduhan.
“Terakhir, ini pelajaran bagi para pejabat publik maupun politisi untuk berhati-hati memberikan pernyataan di era demokrasi digital seperti saat ini,” pungkasnya.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News