GenPI.co - Akademisi politik Kacung Marijan mengatakan bahwa penentuan jadwal pemilu tak bisa dilakukan secara ajek atau pasti dan ditetapkan permanen lewat undang-undang.
Menurut Kacung, ada tanggal merah dan hari-hari tertentu yang bisa berbeda-beda tiap lima tahun.
“Kalau jadwalnya bentrok dengan Jumat atau Minggu, itu juga bisa kacau. Orang-orang semua ke masjid dan gereja,” katanya kepada GenPI.co, Minggu (10/10).
Kacung memaparkan bahwa penentuan jadwal pemilu bisa mengacu pada waktu habisnya masa jabatan pimpinan negara, baik presiden maupun anggota DPR.
“Jabatan presiden itu Oktober habis dan DPR itu sebelumnya juga habis. Kalau pilkada bisa diundur, karena ada penjabat. Namun, tak mungkin presiden dan DPR ada penjabatnya,” paparnya.
Oleh karena itu, Kacung menegaskan bahwa penentuan jadwal pemilu tetap tak diperlukan.
“Bisa berujung masalah itu kalau tanggalnya jadi tetap,” paparnya.
Pengajar di Universitas Airlangga itu menuturkan bahwa pemilu serentak setidaknya harus diberi jeda enam bulan di antaranya.
Pasalnya, ada kemungkinan pemilu putaran kedua, terutama untuk presiden.
“Kita ini pakai sistem majority, bukan plurality. Artinya, perolehan suara harus sebesar 50 persen + 1,” tuturnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News