GenPI.co - Akademisi Universitas Indonesia Ade Armando blak-blakan mengungkapkan masalah karantina mandiri orang yang baru pulang dari luar negeri.
Ade Armando membeberkan, bahwa ada kondisi main mata antara pemerintah dan hotel mewah agar orang tersebut dikarantina di hotel mewah.
Hal tersebut diungkapkan dosen komunikasi itu dalam akun YouTube CokroTV, seperti dilihat GenPI.co, Jumat (16/7).
"Lembaga-lembaga ini bersama hotel-hotel berbintang 5 dan 4 kompak pemanfaatan kebijakan resmi pemerintah untuk merampok mereka yang dianggap punya banyak cuan," jelas Ade Armando.
Ade Armando mengungkapkan, mereka seakan dipaksa untuk menjalani karantina di hotel mewah hingga karantina kedua atau 14 hari.
Biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit, bisa sampai puluhan juta rupiah.
"Pekan lalu, saya mengutip kisah yang beredar di grup WhatsApp tentang orang-orang yang dipaksa dikarantina dan diisolasi di hotel mahal dengan alasan terbukti terkena covid-19. Inti masalah, mereka tidak punya pilihan, hotel sudah ditetapkan, dan mereka tidak bisa meminta melakukan tes ulang PCR secara mandiri," jelas Ade Armando.
Dilarangnya PCR secara mandiri di luar PCR proses karantina membuat Ade Armando heran.
Pasalnya, beberapa orang dinyatakan positif di PCR yang diadakan di hotel, padahal mereka merasa sehat dan yakin negatif covid-19.
Ade Armando menceritakan pengalaman seorang kawan soal proses karantina mandiri di hotel.
"Suami kawannya dinyatakan positif covid-19 di saat pemeriksaan di masa karantina. Untungnya, pria itu tidak mau begitu saja menerima ultimatum tersebut. Dia meminta melakukan tes mandiri. Tapi ketika petugas menolak, dia mengancam akan bicara ke media. Akhirnya terhadap dirinya langsung dilakukan tes ulang. Dalam tes kedua ini, ia dinyatakan tidak terindikasi terkena covid-19," bebernya.
Ade Armando pun mempermasalahkan hotel-hotel yang dijadikan lokasi karantina mandiri.
Hampir semua hotel tersebut adalah hotel bintang lima dan bintang empat.
"Jadi kewajiban yang diterapkan di Indonesia sangat patut dicurigai, apalagi hotel-hotel yang ditetapkan pun mayoritas adalah hotel mahal," ungkap Ade Armando.
"Saya memperoleh daftar hotel karantina yang dikeluarkan Perhimpunan Hotel dan Restoran. Ada 26 hotel terdaftar, di hotel bintang limanya ada 11 hotel, bintang empat ada 11, dan hanya empat hotel berbintang 3," sambungnya.
Dia lalu menyebut beberapa lembaga pemerintah yang diduga terlibat dalam kasus ini. Dia menyebut lembaga itu sengaja menjerumuskan orang agar isolasi mandiri di hotel mewah hingga 19 hari.
"Apa yang terjadi ini adalah kejahatan terorganisir. Sayangnya, yang terlibat adalah lembaga pemerintahan, seperti BNPB, Satgas Penanganan COVID-19, atau mungkin juga Kementerian Luar Negeri, dan pengelola hotel-hotel mewah," beber Ade Armando.
Setelah mengeluarkan video tersebut, Ade Armando mengaku dihubungi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Menurut Ade Armando, Kementerian Luar Negeri tidak terlibat dan tidak tahu-menahu soal kasus tersebut.
Senada dengan Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga membantah tudingan pemerasan kepada pelaku perjalanan luar negeri yang menjalani karantina wajib di hotel.
BNPB bertindak sebagai regulator dalam proses karantina yang mengeluarkan aturan, bukan sebagai pihak yang melakukan implementasi di lapangan.
"Beberapa hari belakangan ada opini yang berkembang di masyarakat mengenai pelaksanaan karantina WNI/WNA. Ada beberapa hal perlu kita luruskan. Tentu saja BNPB sangat menjunjung kebebasan pers, tapi apabila ada info kurang tepat perlu kita luruskan," jelas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan (Kapusdatinkom) BNPB, Ahmad Muhari, dalam dialog virtual, Jumat (16/7).
Ahmad Muhari mengklarifikasi 3 isu yang berkembang di masyarakat yaitu pertama, petugas BNPB melakukan tes di hotel-hotel karantina.
Kedua, petugas BNPB tidak mengizinkan WNI/WNA mendapatkan tes PCR pembanding dan ketiga, BNPB menawarkan ambulans berbayar kepada para pelaku perjalanan di hotel karantina.
"Dalam hal ini, BNPB sebagai kepala satgas yang mengeluarkan edaran dan berfungsi sebagai regulator yang mengeluarkan aturan. Tapi implementator di lapangan bukan BNPB, seperti swab PCR, ambulans, dan pengawasan lain, atau tidak mengizinkan WNI/WNA mendapat tes pembanding bukan dari BNPB," ungkap Ahmad Muhari.
Muhari mengatakan penanganan WNI/WNA yang masuk dari pintu-pintu masuk Indonesia yaitu bandara dan pelabuhan, ditangani oleh kantor kesehatan pelabuhan di bawah koordinator pengawasan dan karantina kesehatan yang diatur TNI/Polri.
Namun, dia menyesalkan karena opini publik seakan-akan menyebut BNPB melarang tes PCR.
"Itu tidak benar. BNPB saat ini sedang memanggil pihak manajemen dari 2 hotel yang disebut dalam liputan tersebut untuk klarifikasi," jelas Ahmad Muhari.
Menurutnya, opini yang beredar menyebut petugas BNPB dan pihak hotel bekerja sama untuk memeras pelaku perjalanan luar negeri di hotel karantina.
"Jika benar ada BNPB di situ, secara internal kita akan melakukan investigasi, dari unit di eselon dan melakukan sanksi sesuai ketentuan hukum, jika bukan petugas BNPB. Kami akan minta manajemen hotel klarifikasi hitam di atas putih," pungkasnya.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News