GenPI.co - Akademisi Ilmu Pemerintahan Universitas Sutomo Serang Rochendi blak-blakan menegaskan bahwa masyarakat Indonesia harus benar-benar mengambil sikap politik pada Pemilu 2024 untuk memutus mata rantai oligarki di dalam pemerintahan.
Menurut Rochendi, hal itu adalah satu-satunya cara agar masyarakat Indonesia bisa terlepas dari cengkeraman oligarki.
"Masyarakat jangan sampai terlena dan harus punya sikap. Tunjukkan bahwa suaranya tak bisa dibeli atau diuangkan," jelas Rochendi kepada GenPI.co, Senin (14/6).
Rochendi mengatakan bahwa kondisi Indonesia saat ini sudah terlalu buruk dan harus dilakukan perubahan yang berarti.
"Harga-harga semakin naik, tapi daya beli masyarakat semakin turun. Lalu, kriminalitas makin meningkat karena terkena PHK perusahaan akibat pandemi," ungkap Rochendi.
Pengajar di Universitas Sutomo Serang itu memaparkan bahwa masyarakat saat ini cenderung untuk mulai berjualan atau berbisnis sendiri akibat tak bisa lagi bekerja di perusahaan.
Namun, daya beli masyarakat sendiri juga makin hari makin buruk.
"Akhirnya, jadi banyak orang yang berjualan, tapi nggak ada yang beli," jelasnya.
Menurut Rochendi, ketika pendapatan dan daya beli masyarakat makin turun, maka akan timbul sebuah reaksi yang dinamakan people power.
"Tak ada jalan lain selain rezim ini harus diselesaikan. Itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan masyarakat," ungkapnya.
Apalagi, jika kondisi ekonomi dan politik makin buruk, masyarakat tentu akan bereaksi dengan keras.
Rochendi menilai jika pemerintah sudah tak memiliki kekuatan dan masyarakat tak menunjukkan sikap atau reaksi, maka Indonesia bisa dengan mudah diambil alih oleh negara asing.
"Indonesia bisa saja dengan mudah dikendalikan negara lain, contohnya China. Hal itu sudah terjadi di Somalia, di sana sudah hampir 80 persen dikuasai oleh China," bebernya.
Menurut Rochendi, bahwa Indonesia harus berani untuk menghindari kendali politik dan ekonomi dari negara lain, salah satunya dalam bentuk utang.
Lebih lanjut, Rochendi menyarankan pemerintah Indonesia untuk mencontoh pemerintah Malaysia yang dengan tegas menolak proyek pembangunan dari China.
"Proyek itu ditolak, karena tidak mendapat persetujuan parlemen. Jadi, begitu Najib Razak ketahuan korupsi, proyek dibatalkan dan Malaysia tidak mau bayar sama sekali ke China," jelasnya.
Oleh sebab itu, semua investasi China dalam bentuk dana dan barang ditarik kembali dari Malaysia.
"Pemerintah Malaysia memulangkan semua investasi itu kepada China, termasuk salah satunya sebuah proyek reklamasi pulau. Malaysia itu padahal lebih kecil dari Indonesia," pungkasnya.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News