GenPI.co - Polemik yang terjadi akibat draf RUU KUHP versi terbaru yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) terus bergulir.
Sebab, salah satu pasal dalam draf itu menyebutkan bahwa penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden akan mendapatkan ancaman hukuman penjara.
Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio pun turut menyoroti draf RUU KUHP tersebut.
Menurutnya, pasal penghinaan presiden itu perlu dikaji. Ia juga mempertanyakan keuntungan dari pasal tersebut.
"Pemerintah itu untungnya apa ada pasal itu? Lagipula, hal itu menjadi kemunduran demokrasi kalau benar terjadi," ucap Hendri kepada GenPI.co, Minggu (31/6).
Hensat, sapaan akrabnya, menyarankan kepada pemerintah agar lebih mengedepankan pendidikan politik.
Dia menjelaskan bahwa masyarakat lebih memerlukan hal itu agar paham arti dari mengkritik tanpa menghina.
"Lebih baik, daripada pemerintah terlalu semangat memunculkan pasal penghinaan presiden itu mendingan untuk melakukan pendidikan politik kepada rakyat," jelasnya.
Dengan demikian, Hensat berharap pemerintah agar lebih fokus kepada rakyat daripada mengurus draf pasal menghina presiden atau lembaga negara.
Seperti diketahui, dalam RUU KUHP, menghina Presiden/Wapres maksimal dihukum 3,5 tahun penjara.
Sedangkan, jika penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana teknologi informasi, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News