GenPI.co - Badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) melaporkan bahwa ada 7.000 orang hilang di tengah ketegangan kekerasan etnis yang meningkat di Ethiopia Barat.
Kekerasan di Zona Metekel di wilayah Benishangul-Gumuz terpisah dari konflik mematikan di wilayah Tigray utara Ethiopia, yang telah mengirim lebih dari 61.000 warga Ethiopia ke provinsi al-Qadarif dan Kassala di Sudan sejak pertempuran meletus pada November 2020 lalu.
BACA JUGA: Kasus Covid-19 Melonjak, Kuwait Tutup Seluruh Perbatasan
UNHCR mengatakan 7.000 orang itu hingga kini masih dalam pencarian oleh suaka. Dugaan lainnya mereka melarikan diri dari Metekel dan telah tinggal di antara komunitas tuan rumah Sudan.
“Situasi (di Metekel) telah meningkat pesat dalam tiga bulan terakhir,” ucap juru bicara UNHCR, Babar Baloch, dalam pernyataannya, seperti dilansir dari Aljazeera, Rabu (24/2/2021).
Sementara, Komisi Hak Asasi Manusia Ethiopia mengatakan lebih dari 180 orang tewas dalam pembantaian terpisah di Metekel pada Desember dan Januari.
Amnesty International melaporkan pada bulan Desember bahwa anggota komunitas etnis Gumuz dan etnis mayoritas di wilayah tersebut telah menyerang rumah etnis Amhara, Oromo dan Shinasha.
Kelompok hak asasi mengatakan Gumuz membakar rumah dan menikam serta menembak penduduk. kelompok itu melihat minoritas sebagai "pemukim".
Kekerasan etnis menjadi tantangan besar bagi Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed saat dia mencoba untuk mempromosikan persatuan nasional di negara dengan lebih dari 80 kelompok etnis.
Amhara adalah kelompok etnis terpadat kedua di Ethiopia dan mereka telah menjadi sasaran berulang kali selama setahun terakhir.
Pejuang dari Amhara, bagaimanapun, telah dituduh oleh saksi melakukan kekejaman bersama dengan pasukan Ethiopia dan Eritrea dalam konflik Tigray.
Secara terpisah, seorang utusan Uni Eropa memperingatkan bahwa krisis di Tigray tampak "tidak terkendali", setelah mengunjungi Ethiopia atas nama blok itu.
Tigray telah menjadi medan pertempuran sejak awal November, ketika Perdana Menteri Abiy dengan menyebt operasi militer melawan partai Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) yang berkuasa di kawasan itu, menuduh mereka menyerang kamp-kamp militer federal.
“Anda telah sampai pada situasi yang secara militer dan hak asasi manusia, kemanusiaan sangat di luar kendali. Dan kini harus segera diselesaikan," terang Abiy.
BACA JUGA: AS Kembali Jatuhi Sanksi Berat Militer Myanmar Terkait Kudeta
Terlepas dari itu, PBB menuturkan bahwa wilayah di mana 80 persen penduduk di kawasan itu kini tinggal tetap terputus dari bantuan.
Ini juga telah membunyikan alarm atas "situasi malnutrisi yang sangat kritis" yang terjadi di wilayah Tigray. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News