GenPI.co - Sedikitnya tiga bom mengguncang ibu kota Afghanistan, Kabul, menewaskan lebih dari 10 warga setempat dan membuat kota itu gelap gulita.
"Dua bom meledak secara berurutan di lokasi terpisah di lingkungan Kabul barat Selasa malam, menewaskan sedikitnya 10 orang dan melukai belasan lainnya," kata wakil juru bicara Kementerian Dalam Negeri Said Hamid Rushan, seperti dilansir dari Aljazeera, Rabu (2/6/2021).
Menurutnya, serangan bom ketiga merusak parah stasiun jaringan listrik di Kabul utara, kata Sangar Niazai.
Dua pemboman awal, keduanya menargetkan minivan, terjadi di sebagian besar daerah etnis Hazara di ibu kota.
Yang pertama meledak di dekat rumah seorang pemimpin Hazara terkemuka, Mohammad Mohaqiq, dan di depan sebuah masjid Syiah. Kebanyakan Hazara adalah Muslim Syiah.
Bom kedua juga menargetkan sebuah minivan tetapi Rushan mengatakan rinciannya masih dikumpulkan.
Polisi menutup kedua area tersebut dan para penyelidik sedang menyaring puing-puing.
Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas pengeboman tersebut.
Afiliasi ISIL (ISIS) yang beroperasi di Afghanistan sebelumnya telah menyatakan perang terhadap minoritas Muslim Syiah, yang merupakan sekitar 20 persen dari mayoritas negara Muslim Sunni yang berpenduduk 36 juta orang.
Afiliasi ISIS sebelumnya mengaku bertanggung jawab atas beberapa serangan pada bulan Mei di pembangkit listrik Afghanistan di Kabul dan di beberapa provinsi lainnya.
Pada tanggal 8 Mei, sebuah bom mobil dan dua bom pinggir jalan meledak di luar sekolah putri Syed-al-Shahada, juga di lingkungan yang didominasi Hazara, menewaskan hampir 90 orang, banyak dari mereka adalah pelajar. Tidak ada yang mengklaim serangan itu tetapi Amerika Serikat menyalahkan ISIL.
Serangan itu terjadi saat Amerika Serikat mengakhiri perang terpanjangnya dengan menarik 2.500-3.500 tentara terakhirnya bersama dengan 7.000 pasukan sekutu NATO dari Afghanistan.
Prajurit terakhir dijadwalkan pergi paling lambat 11 September, menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya kekacauan di negara yang sudah sangat tidak aman.
Kekerasan telah meningkat di Afghanistan bahkan ketika AS mencapai kesepakatan damai dengan Taliban pada Februari 2020 di bawah pemerintahan Trump sebelumnya.
Perjanjian tersebut menyerukan agar pasukan AS dan NATO yang terakhir keluar dari negara itu pada 1 Mei 2021.
Sebaliknya, penarikan dimulai pada 1 Mei setelah Presiden AS Joe Biden mengumumkan pada pertengahan April bahwa negara itu akan mengakhiri 'selamanya perang'.
Pada saat itu, dia menyatakan kelompok-kelompok bersenjata seperti al-Qaeda dan ISIL telah cukup terdegradasi dan tidak perlu lagi mempertahankan ribuan tentara yang dikerahkan ke Afghanistan.
"Pembicaraan damai yang menemui jalan buntu antara pemerintah Afghanistan dan Taliban akan dilanjutkan di Qatar," kata seorang anggota tim negosiasi pemerintah Afghanistan, Nader Nadery.
Kedua belah pihak telah bertemu terus menerus sejak September tetapi kemajuannya hanya sedikit.
“Saya belum melihat tanda-tanda pembicaraan yang berarti dari Taliban mengenai isu-isu kunci untuk mengakhiri perang yang tidak masuk akal ini,” tutur Nadery.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News