Benih Cinta Kami Berdua Tumbuh di Pendakian Gunung Sindoro

10 Desember 2020 18:40

GenPI.co - Sinar matahari menembus jendela rumah. Ruang tengah yang tadinya gelap itu menjadi terang tak lama setelah penjaga basecamp menyibak jendela.

Aku bangun karena mataku terasa begitu silau. Hari itu aku sedang berada di basecamp pendakian Gunung Sindoro via Bansari.

BACA JUGAHobi Tanaman Hias Menuntunku pada Perselingkuhan

Semerbak bau tembakau saat petani mulai mengeringkan benda itu menguar. Namun, saat sedang mencoba menikmatinya, mataku terpaku pada seorang perempuan di sebelahku.

Dia bukan rombongan kami, mungkin rombongan tadi malam yang baru datang dan membuat seisi basecamp gaduh. Aku coba membangunkannya karena hari sudah cukup siang.

“Rombongan dari mana?” tanyaku.

“Semarang,” katanya.

Kami mengobrol cukup lama, sembari berjalan menuju warung untuk mengisi perut.

Aku jadi tahu, dia bernama Hani, seorang mahasiswi semester 6, dan dia hanya mendaki berdua dengan satu teman perempuannya.

“Wow, berani juga, ya,” kataku.

Aku langsung saja mengajaknya bergabung ke rombonganku. Dia tentu saja langsung menganggukkan kepala.

Pendakian itu jadi yang paling berkesan selama aku menyukai hobi ini 5 tahun lalu.

Aku dan dia saling memberi semangat ketika wajah mulai lelah menghadapi jalur yang semakin menanjak.

Beberapa kali kami istirahat, lalu tanpa komando saling berbagi air minum.

Aku berada di barisan paling belakang rombongan, sementara Hani berada tepat di depanku. Kami berjalan sambil mengobrol banyak hal.

Dia bicara tentang jurusan kuliahnya, mengapa memilih kuliah di Kota Semarang, sampai alasan dia mendaki  Gunung Sindoro.

Dari obrolan itu aku tahu, ada banyak sekali alasan orang mendaki gunung.

Mungkin ada yang menginginkan eksistensi dengan pamer foto pemandangan, ada pula yang ingin adu kekuatan dengan mendaki gunung.

Namun, Hani berbeda, dia hanya ingin sembuh. Dua minggu yang lalu dia mendapati kekasihnya selingkuh. Hatinya patah, hubungan yang sudah berjalan 3 tahun itu berakhir dengan tragis.

Aku mendengarnya dengan seksama setiap kata yang diucapkan Hani.

Aku tahu betul, bagaimana orang-orang memilih gunung untuk tempat pelarian.

“Kita istirahat, yuk,” kata Hani.

Kita mencari tempat yang agak datar lalu duduk berdua. Rombongan di depan sudah tertinggal cukup jauh, tetapi kita sudah sepakat untuk menunggu ketika sampai di pos selanjutnya.

Dia melepas tas besar itu, lalu duduk di sebelahku. Napasnya masih memburu, dia masih begitu lelah. Kepalanya tiba-tiba menyender ke pundakku. Aku terdiam.

Kita hanya duduk menunggu deru napas stabil sambil memandangi hijau pohon dan langit di atas yang membiru.

“Woi malah pacaran, kirain hilang,” kata teman rombongan yang tiba-tiba menyusul ke bawah.

Degup jantungku tiba-tiba melonjak. Aku begitu kaget dengan kedatangan teman rombongan yang turun ke bawah.

Aku tak sempat melihat raut wajah Hani saat seorang teman menuduh “pacaran” kepada kami yang beristirahat bersama.

Namun, yang pasti aku ingin kedekatan yang singkat ini tetap terjaga. Setidaknya sampai kita sampai puncak dan turun ke basecamp.

Jika bisa berdoa lebih, aku ingin kita tetap dekat meski sudah tidak lagi mendaki gunung ini lagi.

BACA JUGABerawal dari Beli Ikan Cupang, Aku Jadi Selingkuhan Suami Orang

Ah, sudahlah, perjalanan masih panjang dan cerita ini akan menemui ujungnya sendiri. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Irwina Istiqomah Reporter: Chelsea Venda

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co