GenPI.co - Suasana hari ini sangat sepi. Hanya suara dedaunan yang menjadi melodi siang ini. Ya, siang yang panas ini. Tak ada awan, yang ada hanyalah sinar mentari yang terik. Tak ada pula tetesan hujan yang turut berduka. Berduka pada dia yang terduduk di bawah pohon.
Sudah satu jam ia duduk termenung sementara orang-orang berlalu. Halim, sahabat karibnya, telah berulang kali membujuknya untuk pulang.
BACA JUGA: Jerry, Terima Kasih Telah Menjadi Malaikat Pendengar Suara Hatiku
Tapi ia tetap saja bergeming. Bahkan tak mengeluarkan sepatah kata pun sejak kedatangannya di sini. Yang ia lakukan hanyalah diam, mematung. Tak setetes pun air keluar dari balik kelopak matanya itu. Padahal ia sangat terguncang. Ya, sangat terguncang.
Tangannya tergerak untuk sekedar mengusap kayu yang berdiri tegak pada ujung gundukan tanah itu. Sungguh, ia tidak terima jika nama itu tertulis di sana. Ia membencinya. Karena nama itu harus ada di tempatnya, terukir di hati Alkhananta. Bukan di kayu itu.
Ia menghirup udara sedalam-dalamnya. Harum, seharum parfum yang biasa dipakai Eisha. Bukannya menjadi tenang, ia malah merasakan pukulan keras di lubuk hatinya. Dentuman keras yang menyebabkan seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit.
1 jam.. 2 jam.. Waktu berjalan sangat cepat.
Alkha masih di sana. Kenapa? Karena ia menunggu keajaiban. Berkali-kali hatinya meminta Tuhan untuk mengembalikan Eisha. Berharap Eisha tiba-tiba berada di sebelahnya dan gundukan tanah ini akan lenyap.
Atau Alkha berharap ini hanyalah sebuah bunga tidur dan Tuhan segera membangunkannya dari mimpi terburuknya ini. Tapi itu konyol.
Matahari perlahan tergelincir. Sinarnya perlahan menjadi hangat. Cahayanya pun mengubah warna langit menjadi oranye. Tapi dingin, karena angin kini berhembus lebih kencang dari sebelumnya.
Ya, angin menerpa punggung Alkha hingga menusuk kalbunya yang rapuh. Angin itu seolah berusaha menyapunya agar segera pergi dari tempat ini. Namun, tubuhnya itu menolak. Ia masih ingin di sini.
3 jam.. 4 jam.. 5 jam.. Waktu terus bergulir tanpoa menunggu Alkha.
Untuk pertama kalinya, Alkha melepaskan pandangannya dari tempat peristirahatan Eisha yang terakhir. Ia menatap langit tanpa cahaya itu. Ah, sudah malam. Sepertinya ia mulai menyerah. Keajaiban tak kunjung datang, Tuhan tidak mengabulkan permohonannya.
Ia menggerakan lehernya yang terasa kebas. Dengan sisa kekuatannya, ia berusaha bangkit. Celana hitamnya penuh dengan tanah akibat terlalu lama bersimpuh. Kakinya berasa kaku. Namun, Alkha tetap melangkah keluar dari tempat itu, meski dengan langkah yang berat.
Langkahnya terseok-seok. Sebab kakinya tak dapat menumpu raga yang sedang terluka. Tubuhnya terasa lunglai. Dibandingkan tubuhnya itu, lebih sakit hatinya.
Alkha tentu tak bisa menerima kenyataan bahwa Eisha tidak berada di sampingnya lagi. Eisha, perempuan yang telah bersamanya sejak 5 tahun terakhir. Perempuan yang selalu mengisi hari-harinya
"Alkha, aku udah sampe di rumah ya. Kamu hati-hati di jalan."
"Makan Al! Dari tadi kamu belum makan, kalau maagnya kambuh siapa yang mau nolong?"
Ia berhenti melangkah ketika otaknya memutar suara-suara Eisha. Alkha dapat mendengarnya dengan jelas. Ia menghembuskan napas dengan kasar. Kedua tangannya terangkat untuk mengacak rambut hitamnya itu. Frustasi dan menyesal.
‘Kamu marah ya sama aku? Tapi aku nggak tahu aku salah apa.’
"Alkha… Maafin aku."
"Aku sayang kamu."
Alkha jatuh tersungkur di trotoar itu. Pandangannya kini mengabur. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini berlomba keluar. Semakin lama semakin deras. Namun itu tak pernah membuat perasaannya membaik. Tidak pernah.
Ia mengerang dengan keras. Jiwanya tak mampu lagi menahan kekecewaannya. Ya, ia kecewa pada dirinya sendiri.
Sebulan yang lalu, Alkha menyakiti hati Eisha. Di balik senyumnya, Alkha tahu bahwa Eisha terluka akibat perkataannya. Bosan. Ya, kebosanan menyelimuti hatinya kala itu.
Suatu kebodohan ketika Alkha meminta Eisha untuk pergi sejenak. Hanya sampai kebosanannya hilang dan ia akan kembali pada Eisha. Sungguh Egois.
BACA JUGA: Hati Selly Hancur di Tanah Perantauan Sang Kekasih
Kini penyesalan Alkha tiada berujung. Sang pujaan hati berpulang lebih cepat. Semoga saja Eisha memaafkan dirinya dari surga.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News