GenPI.co - Deret kursi besi di ruang tunggun terminal keberangkatan itu belum penuh terisi. Aku duduk di barisan ke-2, menunggu penerbangan yang jadwalnya diundur hingga satu jam ke depan.
Padahal sudah bela-belain datang sejak subuh ke bandara agar tak ketinggalan pesawat menuju kota Y.
Maskapai satu ini memang suka telat. Cuaca buruklah, kendala teknislah, antre di untuk takedown lah, banyak lagi lainnya.
Pagi ini, pengumuman terlambatnya pesawat itu berkumandang persis 20 menit sebelum jam boarding yang tertera di tiket.
Alasan telat tidak jelas. Kendala teknis, begitu kata mbak-mbak dengan irama suara yang dibuat-buat di interkom.
BACA JUGA: Sebuah Adegan...
Aku menghabiskan waktu menunggu dengan berselancar di dunia maya, melihat pembaruan status dari orang-orang yang terkoneksi di media sosial. Sesekali beralih ke browser untuk membuka mencari berita. Namun, tak ada yang menarik.
Aku begitu sibuk dengan gawaiku hingga tak menyadari sepasang – mungkin – suami istri yang duduk tepat di barisan kursi di depanku. Sesaat terdengar mereka mengobrol kecil yang terdengar seperti gumaman.
Kuangkat sedikit kepalaku untuk memindai mereka, lalu kemudian kembai menenggelamkan diri ke dunia maya lewat jendela kecil ponsel pintar.
Entah mengapa, aku merasa ada yang tidak biasa dari pasangan yang berada di depanku itu. Entahlah, ada semacam energi yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah.
Namun, aku berupaya untuk mengabaikannya. Mungkin intuisiku salah, walau dalam banyak hal sering kali benar dalam mengendus ketidakberesan.
“Mas, tiba di sana nanti kita selesaikan segera urusan itu,” terdengar suara dari depan.
Suara perempuan, dengan aksen Jawa yang terasa cukup kental. Pria yang duduk di sebelahnya tidak menyahut.
Ia diam saja, sementara tubuhnya bersandar penuh di kursi, tetapi dengan kepala yang ditekuk. Mungkin ia sedang menekuni layar ponselnya, sama seperti diriku.
BACA JUGA: Memalukan, Pesawat Siluman AS Keok Oleh Senjata Usang Serbia
Meski diucapkan dengan pelan, suara perempuan itu bisa kudengar jelas. Sebuah kalimat yang sebenarnya tidak ada artinya bagiku.
Namun, jujur telingaku mulai dalam posisi siaga untuk mendengar deretan kata-kata selanjutnya. Sepi sesaat.
Sementara itu, satu dua orang mulai datang dan mengisi kursi-kursi di ruangan yang sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca itu. Hamparan landasan pesawat terlihat dengan jelas dari dalam sini.
“Nggak ada pilihan lain, kah?”
Kembali suara terdengar dari deret depan. Kali ini sang laki-laki yang berbicara. Suanya sedikit bergetar, seperti menahan sesuatu.
“Nggak!” jawab si perempuan dengan nada yang ketus.
Aku kembali mengalihkan pandanganku dari layar ponsel, menelisik kedua pasangan itu dari belakang. Dari observasi singkat itu, tampak keduanya masih muda, mungkin tidak lebih dari 35-an tahun. Dari pakaian yang dikenakan, mereka ini masuk kelas menengah ke atas.
Aku lekas-lekas menundukkan kepalaku lagi ketika si perempuan memalingkan kepala, sambil memeriksa tas ransel yang berada di diletakkan di sisi sebelah kirinya.
“Gini deh, Mas. Si Dini ikut sama kamu aja. Dari kemarin kamu yang mau begitu kan. Aku nggak mau apa-apa lagi,” ujar perempuan itu.
Tanpa sadar aku telah memulai sebuah permainan teka-teki di kepalaku berdasarkan rentetan kalimat yang keluar dari mulit kedua orang itu.
Tampilan layar ponsel sudah tidak menarik lagi. Sebab, pertunjukan kenyataan hidup tepat di depanku jauh menarik atensi.
“Dini masih kecil, dek. Masih 1 tahun. Kamu nggak bisa tunggu sedikit saja sampai umurnya 2 atau 3 tahun?” Sang lelaki bertanya dengan suara memelas.
“Nggak bisa, nggak bisa. Pokoknya nggak bisa. Kau udah nggak bisa. Bisa gila aku kalau harus nunggu selama ini. Denger, Mas, Dini juga nggak dekat-dekat amat sama aku. Makanya kamu aja yang jaga.”
“Tapi kamu ibunya…”
“Bukan... ” perempuan itu bertahan.
“Tega kamu, Dek!”
‘Udah deh, Mas. Jangan mulai deh, aku nggak mau kita teriak-teriak di sini,” ucapan sang perempuan menutup debat mereka.
Keduanya kini sudah menutup mulut masing-masing. Sementara itu, diriku yang dalam posisi duduk dan pura-pura menatap layar ponsel telah terseret dalam arus konflik keduanya yang entah apa.
Ini perkiraanku. Kedua orang itu adalah pasangan suami istri. Mereka memiliki buah hati yang bernama Dini.
Alih-alih menikmati masa bahagia akan kehadiran buah hati yang sedang lucu-lucunya itu, perkawinan keduanya malah di ambang perpisahan.
Sang suami tak ingin cerai sekarang, karena anak mereka masih kecil. Namun, istrinya kukuh ingin segera pisah dan bahkan menyerahkan anaknya yang masih kecil itu dalam pengasuhan sang suami.
Terkait hal terkahir aku sempat menyumpah perempuan itu. Ibu macam apa dia? Sudah pasti ada laki-laki lain.
“Semua nggak bakal seperti ini kalau kamu nggak gitu, Mas,” perempuan itu kembali bicara. Suaranya kini terdengar lirih menahan tangis.
Pikiranku seketika buyar dan dengan cepat mengatur posisi radar agar bisa mendengar lebih jelas. Sebab, sepertinya ada fakta baru yang bakal keluar.
“Yang bikin aku kecewa banget, kenapa kamu mau aja waktu aku minta kita menikah. Bahkan kamu yang berinisiatif datang ke panti asuhan untuk mengambil Dini. Ternyata itu semua hanya untuk nutupin kebohongan kamu, mas,” lanjut perempuan itu.
Keningku sampai mengerenyitkan untuk memgumpulkan potongan-potongan kisah kedua oran ini.. Kebohongan? Panti Asuhan?
“Dek..” suara ang lelaki terdengar lemah sekali.
“Nggak, Mas. Pilihannya adalah mengembalikan Dini ke panti asuhan. Kalaupun malu, malu sekalian, deh! Mau bagaimana lagi. Aku nggak bisa mengasuhnya seorang diri. Tidak dengan keadaan seperti ini,” jawab perempuan itu.
Setiap kata yang keluar dari mulutnya mengguratkan rasa sakit hati yang amat sangat.
“Kita bisa mulai lagi dari awal..”
“Ya, mulai... tetap dengan si Galih itu berada di antara kita?” Sang perempuan bertanya dengan marah.
Galih? Seperti nama seorang lelaki, pikirku. Oh ya ampun. Segalanya mulai tampak jelas sekarang. Si pengkhianat bukanlah perempuan itu.
Sang laki-laki lah yang menghancurkan perkawinan mereka dengan orang ketiga yang adalah laki-laki juga!
Suara dari interkom kembali berkumandang, membuat pikirinku seketika buyar karenanya. Pesawat yang kami tunggu sudah bisa dimasuki.
Pasangan suami istri yang berada di ambang perceraian itu beranjak dari tempat duduk mereka. Begitu juga diriku dan sekalian orang di terminal.
Aku terus mengawasi pasangan itu. Mereka memasuki kabin pesawat dan tujuannya sama dengan diriku. Menuju kota Y. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News