GenPI.co— Hiruk pikuk Kota Jakarta beberapa waktu tahun lalu masih dijadikan primadona oleh sebagian warga desa untuk bertempur mengais rezeki di Ibu Kota.
Namun saat ini Jakarta merupakan tempat transit bagi sebagian para pendatang.
Hal tersebut menurut Pakar Tata Kota, Yayat Supriatna, dikarenakan beban biaya hidup di Kota Jakarta sangat mahal. Orang lebih memilih wilayah alternatif di area sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi dan Karawang.
Alternatif kota yang disinggahi para kelompok urban ini karena biaya hidup di daerah tersebut tergolong lebih murah dengan upah minimum regional (UMR) yang kurang lebihnya sama.
Baca juga:
Empat Spot Instagramable di Kawasan Kota Tua Jakarta
Keren, Wisata ke Gedung Kota Tua Ini Seperti di Eropa
Meski demikian, kota Jakarta masih menjadi kota yang menghadapi kelompok urbanisasi terbanyak dengan jumlah 65 ribu hingga 70 ribu orang per tahunnya.
Tak dapat dipungkiri penduduk di kota Jakarta yang bertambah. Berdasarkan data Badan Statistik Pemprov DKI Jakarta tahun 2018 mencapai 10.467.629 orang. Yayat menilai kepadatan penduduk itu tak lepas dari kelompok urban yang mendatangi kota Jakarta untuk berjuang mendapatkan pundi-pundi rupiah.
Namun, seiring tak terbendungnya arus urbanisasi masih ada kebijakan pemerintah tak siap menghadapi kelompok urban. Pengelolaan kelompok urban belum terbentuk dengan baik seperti pendataan yang resmi dan terstruktur.
“Ketika kelompok urban datang, aturan yang diprioritaskan melalui sisi administrasi kependudukan. Setiap urban yang datang harus membekali diri identitas yang jelas seperti KTP, pengantar nomor induk kependudukan yang teregisterasi. Nantinya identitas yang teregistrasi tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah setempat untuk dipantau dan pemberdayaan tenaga kerja di kota tujuan,” ungkap Yayat.
Saat ini kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang tidak menerapkan operasi yustisi belum menjadi sebuah solusi. Pasalnya, kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan pemberdayaan para kelompok urban yang berpotensi menimbulkan masalah bagi kota Jakarta.
Jika dibandingkan dengan pengelolaan urbanisasi di Kota Surabaya, Walikota Surabaya Tri Rismaharini menerapkan aturan yang tegas bagi para pendatang ke Kota Pahlawan.
“Setiap pendatang harus melaporkan diri, mereka [pendatang] harus memiliki tujuan, lampiran kontrak kerja dan akan menetap di mana. Sehingga setiap pendatang tercatat dan langkah tersebut dapat menekan jumlah pendatang,” tegas Yayat.
Menyikapi kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang tidak akan melakukan operasi yustisi, Yayat menilai, Pemprov DKI harus memiliki rencana yang jelas terhadap kelompok urban.
Dia mengatakan, Pemprov DKI harus siap mengelola para kelompok urban dengan menjadikan sebuah kota menjadi media pembelajaran bagi para pendatang.
“Fungsi kota menjadi sebuah ranah media pendidikan untuk merubah orang untuk tertib. Kota yang bagus itu ketika dapat mengubah warganya untuk berbudaya tertib, baik tertib tempat tinggal, administrasi, lalu lintas, menjaga kerapihan, kebersihan dan lain-lainnya,” tegas Yayat.
Yayat menambahkan, melihat kepadatan penduduk Jakarta, seharus Pemprov DKI Jakarta belajar dari kebijakan Ali Sadikin saat menjadi gubernur, yang berani menjadikan kota Jakarta di tahun 1970-an tertutup bagi para pendatang karena overload penduduk sehingga harus membatasi kelompok urban.
Tonton juga video ini:
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News