Hakikat Tradisi Mudik Lebaran, Lebih dari Pelepas Rindu

03 Juni 2019 10:00

GenPI.co – Perayaan Hari Raya Idul Fitri menjadi momentum hangat bagi umat muslim untuk saling bersilaturahmi. Yang jauh didekatkan, yang dekat semakin erat. Begitu pula para muslim perantuan yang mengadu nasib di kota-kota besar.

Saat Lebaran tiba mereka ingin pulang kampung dan bertemu dengan sanak saudara serta kerabat di tempat kelahirannya. Fenomena inilah yang sering disebut dengan mudik.

Tak sekedar pelepas rindu, tradisi mudik pada hakikatnya merupakan wujud cinta kampung halaman bagi para perantau yang telah lama meninggalkan kampung halamannya. Banyak diantara mereka telah meraih sukses di tempat rantau. 

Ada yang menjadi pengusaha, pejabat hingga staf perusahaan swasta. Maka tak heran apabila banyak ditemui mobil ber-plat ibukota hilir mudik melintasi jalan-jalan desa saat Lebaran.

Fenomena mudik lebaran di Indonesia memang unik dan jarang ditemukan di negara lain. Sekitar satu minggu sebelum lebaran, para perantau secara masal meninggalkan ibukota dan kembali ke tempat asalnya hingga momentum lebaran berakhir. Lantas bagaimana awal mula tradisi mudik lebaran di Indonesia?

Menurut pemaknaan bahasa Jawa ngoko, mudik merupakan cekaan dari ‘Mulih dilik’ yang berarti pulang sebentar saja. 

Namun kini, pengertian mudik dikaitkan dengan kata ‘udik’ yang artinya kampung, desa atau lokasi yang menunjukan antonim dari kota. Lantas pengertian ini ditambah menjadi ‘Mulih Udik’ yang artinya kembali ke kampung atau desa saat lebaran.

Dilansir dari berbagai sumber, awalnya tradisi mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah berjalan sejak sebelum zaman Kerajaan Majapahit. 

Dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Hal ini dilakukan untuk meminta keselamatan dalam mencari rezeki.

Barulah istilah mudik lebaran berkembang sekitar tahun 1970-an. Saat itu posisi Jakarta sebagai ibu kota Indonesia tampil menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat. 

Bagi penduduk yang berdomisili di desa, Jakarta menjadi salah satu kota tujuan impian untuk mengubah nasib. Lebih dari 80 persen para urbanis datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. 

Mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan biasanya hanya mendapatkan libur panjang pada saat lebaran saja. Momentum inilah yang dimanfaatkan untuk kembali ke kampung halaman. 

Baca juga:

Saat Mudik, Waspada Ranjau Paku Bertebaran di Jalur Kalimalang

Saat Kepo Suasana Mudik Stasiun Senen, Jokowi: Ingat Tahun 1986

Hal ini terus berlanjut dan semakin berakar ketika banyak urbanis yang mencoba peruntungannya di kota. Tidak hanya di Jakarta, tradisi perpindahan penduduk dari desa ke kota juga terjadi di kota-kota besar lainnya di Indonesia. 

Terlebih dengan diterapkan otonomi daerah pada tahun 2000, maka orang semakin banyak mencari peruntungan di kota.

Media juga memiliki andil besar dalam membentuk sebuah peradaban baru tradisi mudik ini. Melalui media, khasanah dari tradisi ini mulai terbentuk. Sehingga terdapat hal-hal yang membuat perantau tak boleh meninggalkan tradisi ini. 

Pertama mudik menjadi jalan untuk mencari berkah karena bisa bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat dan tetangga. Kegiatan ini juga menjadi pengingat asal usul daerah bagi mereka yang merantau.

Di lain sisi, tradisi mudik menjadi ajang bagi perantau untuk menunjukkan eksistensi keberhasilannya. Selain itu, juga ajang berbagi kepada sanak saudara yang telah lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya dalam merantau. 

Mudik juga menjadi terapi psikologis memanfaatkan libur lebaran untuk berwisata setelah setahun sibuk dalam rutinitas pekerjaan. Sehingga saat masuk kerja kembali mereka memiliki semangat baru.

Bagaimana dengan sobat GenPI? Mudik kemanakah tahun ini?

 

Simak juga video ini:

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Maulin Nastria Reporter: Hafid Arsyid

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co