GenPI.co - Direktur Ekonomi Digital CELIOS Nailul Huda mengatakan perubahan pola konsumsi dari offline ke online telah mendorong perkembangan produk digital, termasuk produk keuangan yang makin diadopsi melalui teknologi digital, yang dikenal sebagai financial technology atau fintech.
Dia menjelaskan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan peningkatan jumlah pemain di industri fintech mengakibatkan pertumbuhan layanan keuangan yang masif.
Misalnya, penggunaan dompet digital di Indonesia melonjak hingga 200 persen pada 2019 dan penyaluran kredit melalui fintech pinjaman daring atau P2P lending juga menunjukkan pertumbuhan positif meskipun di tengah pandemi.
Di sisi lain, masyarakat makin enggan menggunakan layanan keuangan fisik dan beralih ke layanan digital.
Jumlah kunjungan ke kantor cabang bank menurun drastis. Data Bank Indonesia mencatat penutupan lebih dari 5.000 kantor cabang bank antara 2019 hingga 2023.
Fenomena ini mencerminkan pergeseran signifikan dalam akses layanan keuangan, dengan fintech menjadi salah satu pilihan utama.
Salah satu layanan fintech yang tumbuh pesat adalah fintech P2P Lending, yang mengalami peningkatan tahunan pengguna sebesar 59 persen selama periode 2020-2023 dibandingkan dengan pertumbuhan kartu kredit yang hanya 0,5 persen.
Masyarakat yang unbankable atau underserved lebih memilih pembiayaan digital alternatif seperti fintech P2P Lending.
Menurut Nailul, Ffntech P2P Lending sendiri memiliki pola bisnis two-sided market, yaitu pasar yang memiliki dua jenis konsumen.
Konsumen pertama dalam fintech P2P Lending disebut dengan borrower atau penerima dana.
Penerima dana dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.10/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) disebutkan orang perseorangan, badan hukum, dan/atau badan usaha yang menerima pendanaan.
Konsumen satu lagi adalah pemberi dana atau disebut lender, yaitu orang perseorangan, badan hukum, dan/atau badan usaha yang memberikan pendanaan. Fungsi dari platform fintech P2P Lending adalah mempertemukan antara lender dengan borrower.
Perubahan perilaku di satu konsumen bisa mempengaruhi konsumen lainnya, termasuk dalam perlindungan kegiatan.
“Oleh karena itu, penting bagi regulator untuk memberikan perlindungan baik bagi borrower maupun lender,” kata Nailul.
Dalam peraturan POJK terbaru, perlindungan masih dititikberatkan dari sisi borrower dimana pasal 100 POJK N0.10/2022 tersebut masih dari sisi data, transparansi, hingga penanganan penagihan yang memang dikhususkan untuk sisi borrower.
Padahal, terdapat sisi lender yang juga perlu perlindungan sebagai pemberi pendanaan.
Dalam sistem two-sided market, kegagalan bayar di sisi borrower menyebabkan kerugian bagi sisi lender.
Bahkan, uang yang diberikan ke borrower bukan merupakan uang dari platform, melainkan dari lender. Jadi platform hanya sebagai perantara, bukan sebagai lembaga penyalur pembiayaan bagi borrower.
“Menariknya, kasus yang akhir-akhir ini terjadi banyak melibatkan borrower tanpa melihat perlindungan untuk lender. Lender masih dianggap orang yang tidak dirugikan dari berbagai kasus di fintech P2P Lending,” kata Nailul. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News