APPKSI Minta Pungutan Ekspor CPO Dihapus Agar Harga TBS Naik

02 Agustus 2022 01:20

GenPI.co - Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) Arief Poyuono meminta pemerintah membebaskan pungutan ekspor CPO dan menurunkan bea ekspor agar harga TBS (Tandan Buah Segar) naik.

Pasalnya, walaupun sudah dilakukan penghapusan sementara tarif pungutan ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya hingga 31 Agustus, harga TBS masih stagnan.

"Pemerintah menggratiskan pungutan tersebut hingga akhir Agustus 2022 tidak akan cukup menaikan harga TBS petani selama keran ekspor masih macet," ujar Arief Poyuono, Senin (1/8).

BACA JUGA:  Pasar Nantikan Ekspor Sawit RI, Harga CPO Turun Tajam

Dia menyebutkan stok CPO nasional sebesar 8,1 juta ton bukan kondisi yang normal.

Sebab, pada kondisi biasanya, stok minyak sawit Indonesia rata-rata 3 juta ton. Hal inilah yang membuat harga minyak sawit anjlok belakangan ini.

BACA JUGA:  Luhut Tegas Pada Pengusaha CPO: Wajib Terdaftar!

Kondisi tersebut juga mengkhawatirkan, karena musim puncak panen sawit telah berjalan sejak Juli dan akan terus berjalan hingga Januari mendatang.

Artinya, pengusaha membutuhkan tempat penampungan lebih banyak untuk menyerap TBS.

BACA JUGA:  Penyesuaian Tarif CPO Beri Keadilan Industri Kelapa Sawit Rakyat

"Bila tidak, pengusaha tidak akan dapat menyerap TBS petani yang berlanjut terhadap tertahan rendahnya harga TBS," kata Arief.

Menurut Arief, stok CPO yang melimpah tersebut akibat dampak dari berubah-ubahnya kebijakan pemerintah terhadap industri minyak sawit, khususnya dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng.

“Dengan banyaknya kebijakan pemerintah dalam enam bulan terakhir membuat stok minyak sawit nasional melimpah. Ini yang membuat harga minyak sawit internasional turun," bebernya.

Jika ambang batas tak bergerak, harga TBS petani tidak akan meningkat secara signifikan ke Rp 1.600 per kilogram sesuai rekomendasi Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.

Hal itu akan berdampak ke petani plasma sawit yang kesulitan menutupi biaya yang harus dikeluarkan, khususnya seperti biaya pupuk, biaya perawatan serta pembayaran kredit di bank.

Dengan skema Domestik Market Obligation (DMO) dan Persetujuan Ekspor (PE), Arief memprediksi volume ekspor CPO pada Juli dan Agustus hanya bisa tercapai di angka 1,89 juta ton dan 1,9 juta ton.

“Artinya, stok yang 8,1 juta ton di awal Juli 2022 ini, dalam 2 bulan ini baru bisa berkurang ke level 3,31 juta ton di akhir Agustus 2022,” kata Arief.

Oleh karena itu, APPKSI mendesak DPR dan pemerintah untuk melakukan beberapa kebijakan agar TBS bisa mencapai harga di atas Rp 1.600 per kilogram.

"Pertama, relaksasi ekspor hingga akhir tahun agar volume expor minyak sawit bisa mencapai 4  juta ton, minimal mulai Agustus," katanya.

Selain itu, model DMO untuk sementara harus dibatalkan bila harga CPO di pasar lokal masih berada dibawah Rp 9.500 per kilogram tanpa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Menurut dia, hal tersebut bakal memberikan jaminan harga minyak goreng curah lokal bisa di level Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter.

Penerapan tarif potongan BPDPKS di level 0 persen mulai 15 Juli 2022 sebaiknya diberlakukan selamanya.

Sebab, penyaluran dana hasil pengumpulan pungutan EKSPOR CPO selama ini salah pengunaannya dan melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, terutama Pasal 9.

"Selain itu bea keluar juga diberi relaksasi dengan diskon dari posisi sekarang sebesar 50 persen mulai Agustus sampai  desember 2022 agar bisa memberikan dampak pada naiknya harga TBS," imbuhnya.

Menurut Arief, birokrasi yang panjang dalam aturan DMO menjadi salah satu penyebab buyer CPO internasional ragu untuk berbisnis dengan industri sawit domestik. Oleh karena itu, DMO harus ditiadakan.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Pulina Nityakanti Pramesi

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co