GenPI.co - Masyarakat perlu berhati-hati dengan maraknya pinjaman online (pinjol). Mudahnya akses jangansampai membuat mudah tergiur.
"Tinggal klik, isi formulir, kemudian uang ditransfer," ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada GenPI.co, Rabu (15/9).
Selain itu, dirinya menyebut maraknya pinjol karena banyak faktor, antara lain rasio kredit perbankan terhadap PDB yang terlalu rendah.
"Data dari Bank Dunia terakhir, Indonesia paling banyak jumlahnya yakni 38,7 persen. Disusul Malaysia, Thailand, dan Singapura," tutur Bhima.
Menurutnya, hal itu membuat sebagian besar populasi belum mendapatkan akses pembiayaan yang merata dari lembaga perbankan.
Selanjutnya, penetrasi digital sampai ke level pedesaan dan semua lapisan masyarakat menjadi sasaran empuk pemasaran pinjol.
"Kemudahan yang ditawarkan pinjol ilegal ini membuat calon korban seakan tidak memiliki opsi lain ketika butuh dana cepat," ucapnya.
Selain itu, faktor PHK karena pandemi covid-19 juga membuat pinjol makin diminati.
"Mungkin ada yang buat bayar kebutuhan anak sekolah, biaya kebutuhan pokok, sampai biaya renovasi rumah akhirnya melihat pinjol ini jadi opsi pertama," tegasnya.
Terlebih, mereka para peminjam tidak dibiasakan cek dulu ke lembaga keuangan yang formal.
"Ya bisa dibilang literasi keuangan digital kita rendah sebenarnya," jelasnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News