GenPI.co - Perkenalkan, aku Gina Pasaribu. Dari namanya saja, orang-orang pasti sudah tahu bawa aku adalah keturunan suku Batak yang cukup kental terkait tata cara ibadahnya.
Menjadi seorang mualaf tidaklah mudah bagiku, terlebih aku lahir di keluarga yang cukup menentang adanya perbedaan.
Sayangnya, aku ingin hidup berdasarkan pilihanku. Bukan omongan orang lain, sehingga aku memutuskan untuk menjadi mualaf.
Keputusan tersebut sudah aku ambil sejak empat tahun lalu. Perjalanan yang saya lalui tentunya tak mudah. Prosesnya, cukuplah panjang untuk mempelajari semuanya.
Rasa cintaku pada Allah, membuat aku memiliki niat dan semangat yang tinggi untuk terus belajar agar bisa mengenal Dia lebih dan lebih lagi.
Awalnya aku belajar sendirian, melalui buku-buku tentang keagamaan dan membaca Al-qur'an setiap harinya.
Namun, belajar sendiri rupanya tidak semudah yang aku bayangkan. Tidak jarang aku kebingungan apakah cara yang aku lakukan sudah benar atau masih salah.
"Alhamdulillah, aku memiliki teman yang bisa menerima aku apa adanya," kataku, mengucap syukur.
Mereka mengajari aku secara perlahan, mulai dari menulis, tata cara shalat hingga membantu membaca ayat suci Al-qur'an.
Selama menjadi mualaf, hal yang paling sulit aku jalani ketika bulan Ramadan tiba sehingga aku harus berpuasa.
Tinggal dalam satu rumah di mana hanya aku yang menahan haus dan lapar tidaklah mudah. Terlebih, keluarga tetap makan dengan santai dihadapanku.
Untungnya, setelah setahun menjadi mualaf aku banyak belajar dan mencari lingkungan yang bisa membuat aku tak berhenti mencari tahu tentang Allah.
Seiring berjalannya waktu, lingkunganku bisa menghargai apa yang menjadi pilihanku, yakni mencintai Allah.
Kisah Mualaf ini seperti dituturkan Gina Pasaribu kepada GenPI.co. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News