GenPI.co - Mike, menantuku adalah seorang yang memiliki hobi cukup unik, yakni kolektor benda pusaka. Pekerjaan utama memang arsitek, mendesain untuk bangunan hotel berbintang di Lombok dan Bali.
Beberapa hasil rancangannya bahkan kini menjadi rujukan bagi arsitek dunia. Satu mahakarya-nya adalah resort dengan nuansa adat Lombok yang dibangun di pinggir pantai Gili Terawangan.
Mike bertemu Pamela, anakku di sebuah pemeran lukisan dan benda antik di Bali 6 tahun lalu. Saat itu Pamela hadir sebagai kurator dari karya seni yang dipertunjukkan di acara itu.
Di rumah mereka, terdapat sebuah benda pusaka milik Mike berupa pedang bertuliskan aksara Jawa Kuno. Pedang itu sengaja tidak disimpan di dalam lemari dan hanya dibiarkan tergeletak di atas meja dengan beralaskan sebuah kain putih.
Bahkan, pedang itu tidak juga ditutupi kaca supaya tetap bersih dan terjaga nilainya.
Pedang itu memiliki nama “EMPU SAKTI PAMUJA”. Konon, pedang ini dulunya milik seorang pangeran Banyuwangi yang dikenal kesaktiannnya. Pedang dengan warna cokelat gelap tersebut sangat panjang, mungkin hampir 2 meter.
Ujungnya sangat runcing, dengan pegangan berbentuk bulat pepat.
Kata Mike, itu pedang ia dapatkan tidak sembarangan, bukan pula melalui lelang atau rebutan. Pedang tersebut diberikan oleh seorang pemangku adat suku Osing di Banyuwangi lantaran Mike dianggap orang yang tulus dan jujur.
Mungkin ini klise, tetapi pedang tersebut tidak akan bisa sampai pada orang yang tidak amanah. Seperti sudah ada sinyal.
Pedang tersebut pun tidak bisa diserahterimakan langsung kepada penerusnya. Melainkan datang sendiri ke rumah calon empunya. Saat itu Mike diminta untuk meletakkan kain putih di atas meja. Benar, 2 hari berikutnya, pedang terssebut tiba-tiba sudah berada di rumah Mike.
Mike sama sekali tidak pernah menjelaskan lebih detail mengenai pedang pamungkas itu. Setiap kali aku bertanya dan pensaran, ia selalu bilang “Ibu cukup tahu bentuknya yang perkasa saja, nikmati dengan mata telanjang. Konon bisa menyegarkan otak dan membuat rileks bagi yang melihat,” ujarnya.
Memang benar, tiap kali aku memandang pedang itu, aku merasa stresku hilang.
Namun, sayangnya suatu tragedi mengejutkan terjadi kala itu. Diliputi rasa penasaran, aku pun dengan beraninya memegang ujungnya dengan penuh hati-hati.
Saat aku pegang ujungnya, tak tahu kenapa tubuhku langsung bergetar hebat. Mataku mendadak keluar air mata dan keringat mengucur di sela-sela dada.
Aku pun, dengan kaget langsung tersentak dan merintih kesakitan. Rasanya panas.
“AWWWWW AHHHH AHHHH panasssss”
“Mike, Pamelaaaaaa tolongin Ibuuuuuu, Ini kenapa?”
Mike yang sedang menguras kolam di belakang rumah, mendadak lari tunggang langgang ke ruang tengah dan menyelematkanku.
Ia membaca mantra khusus, dan tiba-tiba menarikku dengan sangat kuat. Aku pun terpental di sofa bersama Mike.
Pamela yang sedang memasak juga datang melihatku kesakitan. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain melihat bahwa ibunya sedang pingsan.
“Ibuuuuuuu”
Bersyukur aku masih hidup hingga kini. Meski trauma menyelimuti. Satu hal yang Mike dan Pamela lupa memberi tahu.
Rupanya untuk memegang pedang itu terlebih dulu harus membaca mantra khusus dan memakai pengaman. Pengaman berupa sarung tangan.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News