GenPI.co - Namaku Indra, aku adalah seorang mahasiswa yang sedang melanjutkan sekokahku di Ibu Kota DKI Jakarta. Aku sering kali diejek teman-teman karena logatku yang medok.
Maklum, aku memang berasal dari desa. Namun aku sudah terbiasa dan menganggap semua itu hanya candaan.
Aku punya banyak teman dari tempat kuliahku. Aku sangat senang bisa mencari ilmu di kota ini. Walaupun agak sedak, namun keramaiannya membuatku bahagia.
Kini, aku tinggal bersama Tanteku. Ya, dia adalah adik kandung dari Ibuku, namanya Dinda.
Meskipun aku menyebutnya tante, tapi dia masih muda dan lajang. Aku juga kadang merasa heran mengapa dia belum memiliki pasangan.
Padahal, dia sangat cantik dan memiliki tubuh yang aduhai. Bahkan, terkadang aku juga suka melihat dia saat sedang memasak.
Aura keibuan dan humble yang dia miliki selalu bisa membuatku terpana. Terlebih lagi, dia memiliki siluet tubuh yang indah apabila dipandang dari belakang.
"Indraaaaaaaa. Sini turun, kita sarapan bareng," ujar Tante Dinda memanggilku.
"Iya, ini turun," jawabku.
Seperti biasa, kami selalu sarapan bersama-sama. Tante bertugas sebagai koki di rumah, sedangkan aku mencuci pakaian.
Tante Dinda suka sekali menjahiliku. Sebab, dia mengira aku berbuat yang macam-macam saat mencuci pakaian.
Bahkan, dia pernah menjahiliku ketika sedang menjemur pakaian dan mengatakan bahwa aku sering kali mencium pakaian.
Padahal, aku tidak pernah melakukan hal itu. Aku juga sering marah saat dia berusaha untuk menjahiliku.
Namun, apapun yang terjadi dia adalah sosok yang menyenangkan. Bahkan, aku juga pernah berharap tidak dilahirkan di keluarga yang sama dengannya.
Agar apa? Tentunya agar aku bisa memiliki Tante Dinda seutuhnya. Jarang sekali ada sosok yang bisa menarik perhatianku, kecuali Tante Dinda.
"Indra, kamu ngampus jam berapa? Coba kamu ke sini dulu," ujar Tande Dinda.
"Jam sepu .. Tante! Kenapa sih pakai pakaian terbuka gitu?!" ujarku sambil marah.
"Kenapa sih? Kan di rumah? Lagian cuma ada kamu doang di sini," ujarnya.
"Ya, kan, aku enggak mau liat tante pakai tanktop doang. Tante pakai baju dulu sana," tuturku.
"Udah enggak apa-apa, lagian jarang juga. Sekarang lagi panas, jadi jangan komplain," ucapnya.
"Aku enggak mau ke sana kalau Tante enggak pakai baju, aku ambil dulu sebentar," ucapku.
Setelah itu, aku pun pergi ke kamarnya dan mengambil sebuah kaos dengan cepat.
Sesaat setelah itu, Tante Dinda tertawa terbahak-bahak. Ya, seperti biasa, dia selalu memiliki ide untuk menjahiliku.
"Sini, garukin punggung Tante," katanya.
"Kenapa enggak digaruk sendiri sih? Masa harus minta tolong aku? Aku kan cowok," tuturku.
"Cepetaaaaan, ini tante udah gatel banget," ujarnya memaksa.
"Yaudah, tapi enggak lama-lama ya," ucapku.
"Yang lama, kalau enggak lama nanti enggak Tante kasih uang saku," katanya.
"Kenapa sih jahat banget? Aku kan ada keperluan yang mau dibeli," balasku.
"Cepetan, dari pada enggak Tante kasih duit?" ucapnya memaksa.
Pada akhirnya aku pun menggaruk punggungnya yang terlihat putih itu. Tak kusangka, ternyata ada bercak seperti biduran di punggung Tante Dinda.
"Tante, ini kenapa? Gatel banget ya? Kita ke dokter aja yuk. Takut makin parah, ini kayaknya alergi deh," ucapku.
"Masa sih? Tante kira cuma gatel biasa, yaudah ayo siap-siap kita ke dokter," ucap Tante Dinda.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News