40 Hari Kepergian Kekasihku, Arwahnya Terus Menghantui

20 November 2021 23:15

GenPI.co - Sudah lebih dari sebulan aku seperti orang yang kehilangan arah. Lebih memilih menenggelamkan diri pada kerjaan, bahkan dengan sukarela mengerjakan pekerjaan lebih tanpa dihitung lemburan.

Aku masih ingin disini. Berkutat dengan keyboard dan layar yang menyala satu-satunya di kantor yang sudah sunyi ini. Aku enggan pulang. Tapi badanku sudah memberiku sinyal. Dia merasa penat. Dia menuntut hak-nya untuk beristirahat.

Aku harus pulang.

BACA JUGA:  Pendakian Horor, Suara Gamelan Itu Terdengar Jelas di Depan Tenda

—*—

Aku sudah menduganya. Dia pasti ada di sana. Menungguku. Kembali meminta penjelasan atas akhir dari hubungan kami. Yang bahkan aku sendiri sudah bosan menceritakannya.

BACA JUGA:  Pocong Pohon Bambu Mengikutiku Sampai Teras, Ibuku Terperangah!

Dia yang membuatku bahkan malas untuk menginjakkan kaki di rumahku sendiri.

“Kau menghindariku?”, sambutnya, masih dalam duduknya di kursi terasku.

BACA JUGA:  Kuntilanak Merah Merintih di Meja Dapur, Bayangannya Mengikutiku

Aku menatapnya sejenak. Iba. Setengah dari diriku menginginkan untuk memeluknya. Mendekapnya dengan penuh kasih, seperti dulu. Tapi setengah yang lain memaksaku untuk tak melakukannya. Mendorong mulutku untuk malah berkata keji.

“Itu hanya perasaanmu, Dit”, jawabku, sambil duduk di kursi satunya. Memandang jalanan yang bahkan sudah lengang padahal baru jam delapan lebih.

“Itu analisaku, Fan. Setahuku kau orang yang paling berdisiplin dengan waktu. Aku tak yakin bahwa ada kerjaan yang tak bisa kau takhlukkan sebelum waktunya sampai harus selalu pulang larut belakangan ini”, katanya, menghunjam.

“Aku memang sibuk, koq”, kilahku.

“Sibuk menghindariku, maksudnya?!”, cecarnya, memandangku dengan tatapan dingin.

“Demi apa aku menghindarimu, Dit? Aku bahkan tak pernah punya alasan untuk itu”, kilahku.

“Apakah salah, Fan, kalau aku masih ingin menjalani kisah yang kita punya? Atau kalau memang aku sudah tak memiliki kesempatan itu, setidaknya beri aku alasan. Aku juga ingin tenang, Fan”, katanya. Tatapannya yang tadi dingin, berubah menjadi sayu. Tatapan meminta jawaban.

“Haruskah aku terus mengulang penjelasan yang sama, Dit? Kalau kau tanyakan soal cinta padaku, kau sudah sepenuhnya tahu jawabanku. Bahwa cintaku padamu memang tak akan pernah terkikis oleh apapun. Tolong, Dit… tolong mengertilah”, jawabku.

Menghela napas, memandangnya tanpa tangis meski dada terasa perih. Semuanya dingin.

“Tapi, Fan…”

“Pulanglah, Dit. Tolong. Aku butuh istirahat. Aku butuh tenang. Aku butuh sendiri”, potongku, enggan melanjutkan diskusi tanpa ujung ini.

Hening di antara kami. Hawa dingin yang menguar tidak bisa kuusir bahkan dengan jaket yang masih menempel di badanku.

Sunyi yang menghunjam.

“Ini malam terakhir aku menanyakan segalanya padamu. Jika memang benar kau masih cinta padaku, datang ke tempatku besok. Kutunggu kau dengan jawab dan hatiku”, Adit memecah kesunyian. Berdiri, memandangku sekejap, lalu berlalu meninggalkanku.

Aku memandangnya pergi.

Aku masuk rumah setelah dia tak terlihat lagi. Luka yang dari kemarin kujaga, kembali tertoreh. Aku menangis dalam diam.

—*—

“Pak, saya minta ijin untuk pulang lebih awal dari jam kerja. Boleh?!”, tanyaku pada Pak Herman, jam tiga sore waktu itu.

“Tumben minta pulang awal. Biasanya pulang lambat?”, dia membalas tanya.

“Pekerjaan saya sudah selesai semua, Pak. Daripada saya hanya bengong mainan komputer, sibuk dengan social media. Bukankah itu boros listrik dan boros kuota tanpa membawa guna?!”, jawabku sekenanya.

“Tidak perlu sinis begitu, Fan. Silakan kalau begitu”, katanya.

“Terima kasih, Pak”, kataku sambil berlalu meninggalkan ruangan HRD. Berkemas dengan peralatan kerjaku, lalu pergi.

—*—

“Dit, aku datang sesuai dengan permintaanmu semalam. Semoga ini bisa meyakinmu bahwa apa yang menjadi keputusanku adalah memang yang terbaik untuk kita berdua. Untukku dan untukmu. Bahkan untuk semuanya”.

“Jika memang ada luka yang tak bisa disembuhkan, maka kita sama-sama tahu bahwa luka itu adalah perpisahan kita, Dit. Sungguh. Tak perlu kuuraikan panjang lebar pun kau tahu bahwa kau satu-satunya orang yang bisa membuatku jatuh cinta. Bahkan sampai saat ini”.

“Tapi… jalan kita sekarang memang terlalu berbeda, Dit. Dengan cara apapun, itu adalah salah. Salah bagimu, apalagi bagiku. Jurang perbedaan antara kita sekarang terlalu menganga, Dit. Pahamilah. Bantu aku untuk ikhlas dengan semua ini”.

Aku diam sejenak. Menekan dada, berharap bisa membantu meringankan perihnya. Aku tak menunggu jawaban Adit, pun tak mengharapkannya.

“Dan aku benar-benar berharap, meski ini menyakitkan, tapi aku mohon, setelah ini, jangan kau datangi aku lagi, Dit. Karena kau harus tahu, setiap kedatanganmu hanya membasuh luka yang masih sangat berusaha kusembuhkan. Aku tahu kau mendengarnya, dan semoga kau bisa memenuhi permintaanku, permintaan terakhirku”.

Tangis yang sedari tadi kutahan, tumpah sudah. Perih yang kurasa makin menganga. Tapi nyatanya aku memang harus mengakhiri semua ini.

Kutaburkan bunga yang kubawa, di atas pusara itu. Hari ini tepat 40 hari Adit pergi.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Hafid Arsyid

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co