GenPI.co - Aku tidak menyangka pinjaman online alias pinjol ilegal bisa membuat kehidupanku sangat berantakan.
Namaku Yudi. Umurku 35 tahun. Aku tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah.
Awalnya, aku sedang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggaku.
Aku sudah berusaha meminjam uang kepada beberapa temanku. Namun, mereka tidak bisa memberikan pinjaman.
“Aduh, aku juga lagi ada kebutuhan,” kata Joko.
“Rp 2 juta aja. Nggak bisa, ya?” aku merajuk.
“Duh, sorry banget, Yud. Aku benar-benar nggak bisa,” ujar Joko.
Aku mencoba meminjam kepada teman-temanku yang lain. Aku menghubungi Galang, Priyo, dan Sigit.
Dari semua teman yang kuhubungi, hanya Galang yang bisa memberikan bantuan.
Itu pun tidak sesuai yang kuharapkan. Aku ingin meminjam Rp 5 juta. Galang hanya bisa memberikan Rp 2 juta.
“Aku cuma ada sebegini, Yud. Kamu pakai dulu aja,” kata Galang.
Dengan menahan rasa malu, aku menerima uang pinjaman dari Galang.
Aku harus mencari cara lain.
Kebutuhanku sudah sangat mendesak. Aku sebenarnya ingin meminjam ke bank. Namun, aku tidak memiliki jaminan.
Aku lantas terpikir meminjam uang dari pinjaman online alias pinjol. Awalnya, aku merasa tidak akan menghadapi masalah.
Aku pun meminjam uang Rp 15 juta. Kupikir semuanya akan baik-baik saja. Uang langsung ditransfer ke rekeningku.
Namun, beberapa hari kemudian badai mulai menyapaku. Aku harus membayar cicilan.
Bunganya pun tidak keruan. Aku mulai kebingungan karena tidak memiliki uang pegangan.
Aku juga harus menghadapi teror dari debt collector. Mereka terus menerorku.
Beberapa temanku juga mulai kena teror. Istriku pun mendapatkan teror dari mereka.
Kata-kata yang mereka lontarkan sangat kasar. Aku sampai kebingungan menghadapinya.
“Aku harus bagaimana?” tanyaku kepada Galang.
“Kamu ada yang bisa dijual nggak?”
Aku menggeleng lemah. Galang menarik napas dalam-dalam. Dia juga tidak bisa memberikan solusi.
“Gali lubang tutup lubang?” tanyaku.
“Ke siapa?”
“Aku cari,”
Aku berusaha meminjam uang kepada beberapa temanku. Namun, mereka juga tidak bisa memberikan pinjaman.
Hari demi hari terus berlalu. Hari-hariku diisi dengan kebingungan. Teror para debt collector makin mengerikan.
Pekerjaanku terbengkalai. Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Aku linglung. Badanku mulai kurus.
“Kita jual sepeda motor, Mas?” tanya istriku.
“Jangan,”
“Terus?”
Aku diam. Kalau harus menjual sepeda motor, aku harus bagaimana saat bekerja? Kantorku cukup jauh dari rumah.
“Apa kita mau begini terus?”
Aku tidak punya pilihan lagi. Aku menjual satu-satunya sepeda motorku. Setelah itu aku membayar kewajibanku sampai lunas.
Aku juga mendapatkan pinjaman dari Galang. Dia baru saja mendapatkan bonus dari kantornya.
Hari-hari berikutnya aku harus berangkat kerja naik sepeda. Istriku pun mengantarkan anakku ke sekolah dengan sepeda.
Sejak saat itu, aku benar-benar kapok meminjam uang dari pinjol ilegal. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News