GenPI.co - Saat ini mungkin aku sudah merasa tenang dan baik-baik saja, tetapi beberapa waktu lalu aku bimbang terus memikirkannya.
Semua berawal dari bulan kelima aku masuk kerja. Oh, ya, perkenalkan namaku Satria Priyanto, seorang pegawai swasta di klinik kesehatan.
Ketertarikanku kepada seorang wanita terjadi di lingkungan kerjaanku, Tiara Namanya. Dia adalah pegawai baru yang sama dengan divisiku.
Berada di satu divisi membuat aku dan dia nantinya dapat bekerja bersama, termasuk bergantian dalam shift.
Aku tertarik kepadanya karena dia cocok dengan kriteriaku. Begini, dia itu berkacamata, pintar, ceria, mudah bergaul, dan semuanya positive vibes.
Waktu terus bergulir dan semuanya berjalan seperti biasa, hingga pada suatu waktu memberanikan untuk mengajaknya pergi berdua. “Kalau tidak sekarang, lalu mau kapan lagi” ucapku dalam hati.
Dia menerima ajakanku. Tak hanya sekali, tetapi sampai tiga kali. Dia menerima ajakanku untuk pergi berdua. Aku rasa, aku cocok dengan dia. Semua yang kami bicarakan selalu nyambung dan sama-sama tertawa dengan hal-hal yang abstrak.
“Begitu juga saat aku chattingan dengannya, semua seperti lebih dari teman,” pikirku.
Namun, sayangnya semuanya berubah. Hubunganku yang tadinya aku rasa spesial berubah menjadi renggang.
Meskipun demikian, aku saat bertemu dengannya di kantor wajib merasa biasa-biasa saja karena telah berjanji merahasiakan semua dari pegawai-pegawai lain bahwa kami sudah pernah pergi bersama.
Tadinya dengan sangat mudah dia menerima ajakanku untuk pergi, sekarang yang aku terima hanyalah alasan untuk penolakan. Pesan chat yang tadinya fast respon, sekarang menjadi asing. “Apa aku terlalu berlebihan kepadanya?” ujarku dalam hati.
Ingin aku tanyakan empat mata tapi aku rasa tidak mungkin, karena aku bukan siapa-siapanya.
Ya, perlahan semua mulai menjadi biasa saja, sampai ketika kontrak kerja kami habis di kantor tersebut. Semua akhirnya benar-benar berpisah. Aku sudah mengucapkan bahwa jangan melupakan meski mungkin aku dan dia sudah tidak bertemu lagi.
Memang sangat singkat, tapi sangat berarti bagiku. Sekarang sudah seperti biasa saja, aku yang tadinya berambisi dan sangat berharap berubah menjadi acuh. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan jika dia tiba-tiba mengajakku untuk pergi lagi, aku tetap akan menerimanya.
“Jika memang bukan jalannya, aku harus mundur. Percuma juga untuk memaksakan,” pikirku.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News