GenPI.co - Kisah cintaku dengan pacarku, Rendi, sering diwarnai berbagai momen sangat menyenangkan.
Namaku Lina. Aku mungkin salah satu wanita paling beruntung di dunia.
Sebab, aku mempunyai pacar yang sangat pengertian. Rendi memang tidak terlalu romantis.
Namun, dia selalu bisa menjaga perasaanku. Harus kuakui Rendi pria yang rupawan.
Aku yakin banyak wanita yang menyukainya. Kami sudah berpacaran selama empat tahun.
Jika tidak ada halangan, tahun depan kami akan melangsungkan pernikahan.
Selama empat tahun berpacaran, kami melewati berbagai hal yang menyedihkan dan menyenangkan.
Ada salah satu momen yang paling menyedihkan bagi Rendi. Dia sempat ditipu temannya.
Rendi memiliki bisnis di online shop. Dia sangat tekun. Rendi memulainya dari nol.
Dua tahun lalu ada temannya yang mengajak bekerja sama. Ternyata temannya menipu Rendi.
Pacarku kehilangan uang puluhan juta. Saat itu Rendi menjadi lebih sering emosi.
“Kalau kamu emosi, ntar keadaan nggak akan baik,” aku menasihati Rendi kala itu.
Awalnya, sangat sulit menasihati Rendi. Namun, lambat laun Rendi bisa menerima keadaan.
O, iya. Ada juga momen yang lucu sekaligus menyesakkan bagi kami. Tiga tahun lalu aku mengajak Rendi menonton konser musik.
Aku tahu Rendi tidak terlalu suka menonton konser musik. Namun, saat itu aku terus merajuk.
Rendi sempat tidak mau. Dia memilih berdiam diri di rumah. Aku tidak patah arang. Aku terus merayu.
Rendi akhirnya luluh. Dia mau kuajak. Malam itu kami berangkat ke kawasan Jakarta Selatan.
Suasana sudah ramai. Kami berdesakan dengan penonton lain. Aku terus menggenggam tangan Rendi.
Kulihat dia tidak nyaman dengan suasana yang sangat ramai. Rendi memang tidak terlalu suka keramaian.
“Ramai banget,” aku setengah berteriak.
Rendi diam saja. Tidak ada yang istimewa dari perlakuan Rendi kepadaku. Dia tidak memelukku dari belakang.
Rendi juga sangat jarang mengajakku mengobrol. Aku mahfum. Badannya di sana, tetapi pikirannya entah ke mana.
Baru dua jam di sana, Rendi sudah merajuk. Dia kepengin pulang. Aku mencoba menahannya.
“Bentar, Sayang. Sebentar lagi kelar, kok,” aku mencoba meyakinkan Rendi.
Berhasil. Rendi melunak. Namun, hal itu hanya bertahan beberapa saat. Setelah itu, Rendi kembali merajuk.
“Band kesukaanmu, kan, udah main,” ujar Rendi.
“Ini bentar lagi selesai. Aku belum puas nontonnya,”
Rendi terdiam. Namun, beberapa saat kemudian dia kembali mengeluh. Rendi kembali mengajakku pulang.
Aku bersikukuh bertahan. Rendi ngotot pulang. Kami sama-sama kepala batu. Aku tersulut emosi.
“Kalau mau pulang, ya, udah pulang aja sana,” ujarku.
Dalam hari aku berharap Rendi luluh. Harapanku bertepuk sebelah tangan. Rendi ternyata ngeloyor begitu saja. Dia cabut.
Aku melongo. Kulihat Rendi terus menjauh. Aku mau tak mau harus mengikutinya.
Setelah itu hubungan kami sempat renggang selama tiga hari. Aku tidak mau menghubungin Rendi.
Begitu juga sebaliknya. Namun, pada hari keempat, Rendi tiba-tiba datang. Dia membawakan kue kesukaanku.
Aku pada awalnya jaim. Akan tetapi, aku luluh setelah Rendi terus mengeluarkan rayuan maut.
“Nah, gitu, dong. Senyumnya manis banget kayak gulali,” kata Rendi. Aku mencubit lengannya dengan manja. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News