GenPI.co - Aku hanya tertunduk lesu di pinggir toko alat kesehatan saat sebuah pesan dari ibu muncul.
"Nak, pulang. Ayah sudah di surga," kata Ibu.
Saat itu, aku sedang mengantre tabung oksigen di toko alat kesehatan.
Tinggal tiga orang lagi. Kupikir tabung oksigen itu akan sedikit memperpanjang harapan.
Namun, harapan itu sudah dipotong oleh takdir. Ayah sudah pergi lebih dulu.
Saat pertama kali mendengar kabar kepergian ayah, tangisku pecah.
Penyesalan dan kemarahan, muncul bagai dua dosa yang akan terus menghantui hidupku.
"Andai aku bisa lebih cepat. Mungkin nasib berkata lain," pikirku.
Tiga jam sebelumnya, aku mendapati saturasi oksigen ayah terus menurun. Pasokan oksigen dari rumah sakit tidak membuatku tenang.
Aku memutuskan mencari sendiri tabung oksigen ke penjuru Jakarta.
Satu toko ku sambangi, penuh. Berpindah ke toko lain, kembali penuh. Ada sepuluh toko lain yang aku datangi hingga akhirnya menemukan yang terakhir.
Antreannya mengular panjang, tetapi aku tak punya pilihan lain.
Kudapati wajah orang-orang yang mengantre itu tegang. Sesekali mereka mengecek hp dan terlihat mengetikkan sesuatu.
Begitu pula denganku yang selalu berkabar dengan ibu.
"Alhamdulillah, Bu. Ketemu toko tabung oksigen yang masih ada stok," kataku.
Ibu tampak gembira, sebuah pesan yang berisi rapalan doa dan ucapan terima kasih kepada Tuhan kubaca dengan baik.
Aku juga bertanya soal kondisi ayah. Ibu bilang baik dan oksigen masih bisa bertahan sampai malam.
Jawaban terakhir itu membuatku lega. Meski antrean ini cukup panjang, aku masih punya banyak waktu hingga titik akhir tabung oksigen ayah habis.
Namun, belum juga malam datang, kematian keburu menjemput.
Jam-jam selanjutnya adalah mimpi buruk bagi aku dan ibu.
"Maafkan aku, Yah," lirihku.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News