GenPI.co - Tak terasa bulan ramadan tahun ini sudah memasuki minggu kedua. Ini merupakan bulan ramadan keduaku berada jauh dari Indonesia.
Namaku Shafira Nuralifa Santoso. Aku saat ini sedang menjalankan studi di Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) di Beppu, Jepang.
BACA JUGA: Kisah Ramadan: Aku Pura-Pura Tetap Puasa demi Kue di Rumah
Suasana ramadan dan idul fitri di Jepang terasa sangat berbeda dengan di Indonesia.
Di Indonesia, suasana bulan suci terasa sangat meriah, mulai dari iklan sirup di televisi hingga rilis musik religi dari beberapa penyanyi.
Sementara itu, di Jepang hal seperti itu sama sekali tak ada. Selain itu, aku juga meneruskan pendidikanku di Jepang sendiri, tanpa ada keluarga yang menemani.
BACA JUGA: Kisah Mualaf: Pesan Papa Sangat Dalam, Aku Masih Ingat
Aku bahkan masih masuk kelas seperti biasa di hari H lebaran. Bulan suci dan hari kemenangan benar-benar tak terasa spesial di Jepang.
Namun, karena kampusku adalah kampus internasional, jadi aku dikelilingi oleh para pelajar dari seluruh penjuru dunia, termasuk mereka yang beragama Islam.
Aku pun jadi bisa ikut acara buka bersama dengan mereka.
Pelajar asal Indonesia pun tergolong sangat banyak, bahkan mencapai sekitar 80 orang dalam satu angkatan.
Kami pun rutin berkumpul pada hari lebaran untuk memasak dan makan bersama. Masing-masing dari kami akan membawa beberapa stok dan bahan masakan Indonesia yang kami miliki untuk dipakai memasak bersama.
Selain itu, ada beberapa orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Jepang suka open house untuk berkumpul dan makan bersama.
Kami juga jarang melakukan makan-makan bersama di restoran.
Di Beppu sendiri juga ada masjid yang dirintis oleh alumni APU. Masjid itu rutin menggelar beberapa festival dan acara buka bersama selama ramadan.
Menu buka bersama di masjid utama di Beppu juga tiap hari bisa berganti-ganti, tergantung dari komunitas yang berkontribusi untuk menu berbuka pada hari itu. Mulai dari masakan Sri Lanka, Indonesia, hingga Pakistan.
Aku juga tak khawatir tak bisa salat tarawih, karena masjid utama di Beppu selalu menggelar salat tarawih di bulan ramadan. Tentu, hal itu dilakukan sebelum pandemi covid-19.
Untuk masalah waktu berpuasa, aku tak merasa keberatan. Di sini, sahur dilakukan sekitar pukul 4 pagi dan azan maghrib berkumandang sekitar 18.45.
Kebetulan bulan ramadan selalu jatuh pada musim semi di Jepang, sehingga cuacanya masih terasa nyaman.
Selain itu, supermarket di Beppu masih banyak menjual makanan halal. Aku bahkan sering menemukan makanan dan bumbu khas Indonesia yang instan di supermarket.
Aku bahkan pernah menemukan es kelapa muda kemasan di supermarket di sini.
Berlimpahnya makanan khas Indonesia di sini membuatku jadi tak seberapa merindukan masakan tanah air.
Selama pandemi covid-19, aku lebih sering buka sendiri di rumah. Namun, aku tetap datang ke beberapa acara buka bersama teman-teman, walaupun tidak seintens dulu jadwalnya.
Karena masih punya jadwal kelas, aku beberapa kali melewatkan salat id. Sebab, sebelum pandemi, kelas itu tetap harus datang ke kampus, jadi tak ada waktu untuk salat id sebelum kelas pagi.
Walaupun menjalani ramadan di Jepang tak terasa berat, aku tetap masih suka menjalaninya di rumah bersama keluarga.
Sebab, tak ada yang membangunkan aku sahur selama di Jepang. Aku juga harus menyiapkan makanan sahur dan berbuka sendiri, tanpa bantuan Ibu.
Jadi, tak jarang aku suka ketinggalan sahur dan harus menikmati menu berbuka yang ala kadarnya.
Namun, menjalani ramadan di negeri orang membuatku mendapat pengalaman dan pelajaran berharga di hidupku.
Kini, aku bisa dengan mudah membantah stigma bahwa menjalani ramadan di negeri orang akan terasa susah karena muslim menjadi komunitas yang minoritas.
Apa pun rintangan dan tantangan di hidup ini, harus kita jalani dengan hati yang tertutup, terutama dalam hal ibadah.
Selain itu, semakin berat tantangan yang harus dijalani seorang hamba, Allah pasti akan memberikan banyak kemudahan dan rezeki untuk hamba-Nya di kemudian hari.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News